Beberapa tahun terakhir, kita sering melihat bagaimana generasi muda, khususnya Gen Z, begitu aktif menggerakkan isu-isu sosial. Mulai dari kampanye lingkungan, kesetaraan gender, hingga hak-hak minoritas, semua menjadi bagian dari narasi besar yang mereka gaungkan di media sosial.
Tidak jarang, sebuah tagar yang diciptakan Gen Z bisa mengguncang ruang publik dan menarik perhatian banyak pihak. Inilah salah satu alasan mengapa mereka kerap disebut sebagai generasi paling vokal dalam sejarah modern.
Namun, di balik semaraknya gerakan digital yang mereka bangun, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah solidaritas yang mereka tunjukkan benar-benar kokoh?
Banyak aksi yang cepat naik ke permukaan, tetapi kemudian tenggelam tanpa kelanjutan yang jelas. Fenomena ini menimbulkan kesan bahwa ada semacam fragmentasi solidaritas di dalam aktivisme Gen Z.
Pertanyaan ini menjadi relevan karena aktivisme sejatinya membutuhkan konsistensi dan keberlanjutan. Jika solidaritas hanya muncul saat isu sedang hangat, bagaimana nasib perjuangan jangka panjang yang seharusnya diusung? Inilah tantangan besar yang kini sedang dihadapi generasi ini.
Latar Belakang Fenomena
Gen Z dikenal sebagai generasi yang lahir dalam era digital, sehingga tidak mengherankan jika aktivisme mereka banyak berkembang melalui ruang maya. Media sosial menjadi alat utama untuk menyuarakan kepedulian.
Misalnya, gerakan #BlackLivesMatter di Amerika Serikat mendapat dukungan luas dari Gen Z di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, meskipun isu itu berakar dari konteks lokal yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa batas geografis tidak lagi menjadi penghalang solidaritas.
Di Indonesia, Gen Z juga kerap menjadi motor penggerak dalam demonstrasi atau kampanye digital. Misalnya, dalam aksi menolak pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020, banyak mahasiswa dan pelajar yang memanfaatkan media sosial untuk mengedarkan infografis, ajakan turun ke jalan, hingga dokumentasi aksi. Solidaritas yang terbangun begitu cepat karena kemudahan komunikasi digital.
Namun, kemudahan ini juga menimbulkan persoalan baru. Solidaritas yang dibangun lewat platform digital sering kali bersifat instan. Antusiasme yang besar di awal tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen untuk terus mengawal isu hingga tuntas. Banyak gerakan yang akhirnya hanya berakhir di trending topic tanpa langkah nyata selanjutnya.
Fenomena ini sering disebut sebagai slacktivism, yaitu aktivisme yang hanya terbatas pada tindakan mudah dan minim risiko, seperti memberi like, membagikan unggahan, atau mengubah foto profil.