Krisis utang Yunani yang meletus pada akhir dekade 2000-an menjadi salah satu momen penting dalam sejarah sistem moneter internasional pasca Perang Dunia II. Sebagai anggota Uni Eropa dan pengguna mata uang euro, Yunani berada dalam sistem moneter regional yang terintegrasi secara moneter tetapi tidak secara fiskal. Ketidakseimbangan struktural dalam kawasan euro, ketergantungan pada lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), serta ketidakmampuan negara untuk menjalankan kebijakan moneter mandiri menjadikan krisis Yunani sebagai hal penting dalam memahami kerentanan dalam sistem moneter internasional modern.
Yunani resmi bergabung dengan Zona Euro pada tahun 2001. Dengan bergabungnya Yunani menggantikan mata uang nasionalnya drachma menjadi euro, yang dikelola oleh European Central Bank (ECB). Tujuannya adalah menciptakan stabilitas moneter, menghilangkan risiko nilai tukar, serta memperkuat perdagangan dan investasi antar anggota. Namun, realitasnya data fiskal Yunani dimanipulasi agar terlihat memenuhi standar defisit anggaran dan rasio utang. Setelah bergabung, Yunani mendapat manfaat dari tingkat suku bunga yang lebih rendah dan akses mudah ke pinjaman internasional. Pemerintah Yunani menggunakan pembiayaan tersebut untuk memperluas belanja publik, membayar gaji sektor publik, dan mendanai proyek infrastruktur, tetapi tanpa memperkuat sektor produktif atau memperbaiki sistem perpajakan yang lemah.
Ketika krisis keuangan global 2008 menghantam Eropa, kepercayaan investor terhadap stabilitas fiskal negara-negara Eropa selatan mulai runtuh. Pada 2009, pemerintah Yunani mengumumkan bahwa defisit anggarannya mencapai hampir 16% dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih dari lima kali batas yang diizinkan oleh Uni Eropa. Hal ini memicu lonjakan tajam dalam imbal hasil obligasi Yunani dan ketidakmampuan negara untuk mendapatkan pembiayaan dari pasar. Krisis pun meledak dan Yunani menjadi negara pertama dalam Zona Euro yang mengalami krisis utang besar-besaran. Kondisi seperti ini memperlihatkan ketidakseimbangan desain struktur Eurozone, di mana negara-negara anggota berbagi mata uang dan kebijakan moneter yang sama, tetapi tetap mempertahankan kebijakan fiskal yang terpisah. Ketika krisis terjadi, Yunani tidak dapat melakukan devaluasi mata uang atau menetapkan suku bunga sendiri karena otoritas tersebut berada di bawah kendali Bank Sentral Eropa (ECB). Dalam konteks sistem moneter internasional, Yunani kehilangan instrumen penting dalam kebijakan ekonomi makro, yaitu kebijakan moneter nasional.
Sebagai respons terhadap krisis, Yunani menerima paket bantuan atau bailout dari apa yang disebut Troika yang terdiri dari IMF, ECB, dan Komisi Eropa pada 2010 hingga 2015. Bantuan ini diberikan dengan syarat pelaksanaan kebijakan austerity (penghematan anggaran), reformasi pasar tenaga kerja, privatisasi aset negara, dan reformasi pajak. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah mengembalikan kepercayaan pasar dan menyeimbangkan anggaran Yunani. Namun, kenyataannya kebijakan austerity yang ditetapkan membuat belanja publik dipangkas drastis, gaji pegawai negeri dipotong, dan tunjangan sosial dikurangi. Akibatnya, PDB Yunani menyusut lebih dari 25% antara 2008 hingga 2015, tingkat pengangguran mencapai lebih dari 27% pada puncaknya, dan jutaan warga jatuh ke dalam kemiskinan. Selain itu, bailout digunakan sebagian besar untuk membayar utang kepada kreditur internasional, bukan untuk membangun pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Hal ini menimbulkan sentimen anti-Uni Eropa dan anti-IMF, serta memicu krisis politik yang berulang di Yunani. Masyarakat mempertanyakan legitimasi lembaga-lembaga internasional dalam menentukan arah kebijakan domestik negara. Secara konseptual, sistem moneter internasional merujuk pada aturan, institusi, dan mekanisme yang mengatur hubungan keuangan antarnegara, termasuk nilai tukar, neraca pembayaran, dan penyediaan likuiditas internasional. Krisis Yunani memperlihatkan bagaimana sistem moneter regional (Zona Euro) terhubung erat dengan sistem moneter global.
Sistem moneter internasional merujuk pada aturan, institusi, dan mekanisme yang mengatur hubungan keuangan antarnegara, termasuk nilai tukar, neraca pembayaran, dan penyediaan likuiditas internasional. Krisis Yunani memperlihatkan bagaimana sistem moneter regional (Zona Euro) terhubung erat dengan sistem moneter global, sebagai berikut :
1. Ketidakseimbangan Struktural Zona Euro
Zona Euro merupakan eksperimen unik dari integrasi moneter tanpa integrasi fiskal penuh. Negara-negara seperti Jerman memiliki surplus neraca perdagangan, sementara negara seperti Yunani mengalami defisit struktural. Karena tidak ada mekanisme transfer fiskal otomatis antaranggota, ketidakseimbangan ini tidak dapat dikompensasi secara internal, memperbesar kesenjangan ekonomi antarnegara anggota.
2. Dominasi Lembaga Internasional
IMF memainkan peran besar dalam krisis Yunani. Sebagai bagian dari Troika, IMF mendorong kebijakan austerity meskipun sejak awal sudah ada kritik dari dalam tubuh IMF sendiri bahwa kebijakan tersebut justru memperparah kontraksi ekonomi. Hal ini menimbulkan kritik bahwa sistem moneter internasional lewat lembaga-lembaga besar---lebih melayani kepentingan kreditor daripada kebutuhan sosial negara debitor.
3. Ketergantungan Negara terhadap Pembiayaan Eksternal
Krisis Yunani menyoroti risiko dalam sistem di mana negara tidak memiliki kemampuan mengendalikan kebijakan moneternya sendiri. Tanpa fleksibilitas nilai tukar atau kebijakan ekspansif dari bank sentral nasional, Yunani menjadi sangat tergantung pada pinjaman luar negeri dan syarat yang menyertainya.