Arka menatap tumpukan halaman di mejanya. Ratusan lembar penuh kata-kata, tetapi baginya tak lebih dari dinding-dinding kosong tanpa jendela. Ia merasa terperangkap di dalam bangunan yang ia dirikan sendiri---megah di luar, tetapi hampa di dalam.
"Kata-kataku... hanya gema yang tak punya rumah," bisiknya lirih, seolah bicara pada bayangan di cermin.
Malam itu, dalam kelelahan, ia berjumpa dengan seorang kenalan---seorang ahli bahasa yang tenang dalam tutur, seakan setiap kalimatnya sudah ditimbang dengan hati-hati.
"Kau terlalu sering melihat bahasa hanya sebagai suara," kata si ahli bahasa sambil menyesap kopi. "Padahal, bahasa adalah arsitek pikiranmu. Tanpa itu, bangunan ceritamu akan runtuh sebelum sempat dihuni."
Arka terdiam. Kata-kata itu terasa asing, tapi juga seperti kunci yang hampir pas di pintu hatinya.
Melihat kebingungan Arka, ahli bahasa itu melanjutkan, kali ini lebih lembut, nyaris seperti seorang guru yang sedang menuntun muridnya:
"Bahasa punya banyak wajah. Ia bisa menggambarkan kenyataan dengan jernih, menyingkap misteri yang tersembunyi, atau mencipta dunia yang sama sekali baru. Tapi apa pun wajahnya, ia butuh ketelitian---seperti seorang insinyur merancang jembatan. Kata-kata yang ceroboh hanyalah batu bata yang ditumpuk sembarangan."
Arka mengernyit. "Tapi aku menulis fiksi, bukan laporan ilmiah. Apa harus seketat itu?"
"Ya," jawabnya singkat, namun dengan sorot mata yang dalam. "Fiksi yang hidup bukanlah tumpahan emosi semata. Ia berdiri di atas presisi, seperti bangunan yang kokoh tapi tetap indah."
Kata-kata itu menggema lama di dalam dada Arka.
Malam berikutnya, ia kembali ke ruang kerjanya. Layar laptop menyala, kosong. Tangannya ragu, tetapi hatinya mulai berbeda. Ia menatap huruf-huruf di papan ketik seperti tukang batu yang memegang batu bata: setiap keping harus diletakkan pada tempatnya, tidak bisa sembarang.