Lihat ke Halaman Asli

Sengketa Tanah dan "Mafia Tanah" di Nologaten: Dampaknya Terhadap Tata Guna Lahan dan Lingkungan Di Caturtunggal

Diperbarui: 15 Oktober 2025   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kantor Kalurahan Caturtunggal (Sumber: Wikipedia)

Sengketa tanah yang terkait dengan praktik “mafia tanah” di kawasan Nologaten, Caturtunggal, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kini menjadi isu krusial yang tidak hanya berdampak pada aspek hukum dan sosial, tetapi juga pada penggunaan lahan dan keberlanjutan lingkungan. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana praktik-praktik tersebut mempengaruhi keseimbangan ekologi dan struktur ruang di kawasan perkotaan, terutama di tingkat desa.

Kasus sengketa tanah di wilayah Nologaten, Desa Manggung, Kecamatan Caturtunggal, merupakan contoh konkret bagaimana perubahan status tanah yang tidak transparan dapat menimbulkan masalah dalam berbagai aspek. Belakangan ini, muncul dugaan terkait praktik “mafia tanah” yang memanfaatkan kelemahan dalam sistem administrasi dan pengawasan aset desa. Akibat langsung dari masalah ini adalah perubahan penggunaan lahan dari area hijau terbuka atau lahan kas desa menjadi kawasan komersial dan permukiman padat penduduk. Perubahan tersebut mengganggu keseimbangan ekologi dan menurunkan kualitas lingkungan secara keseluruhan.

Menurut Bapak Ali, seorang warga dan pengamat lingkungan di Desa Manggung, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini meliputi pejabat desa, pengembang, dan spekulan tanah yang bekerja sama dalam transaksi tanah tanpa mengikuti prosedur yang benar. Di sisi lain, masyarakat setempat adalah kelompok yang paling dirugikan akibat kehilangan akses ke area publik dan ruang hijau. Saat ini, Pemerintah Kabupaten Sleman dan aparat penegak hukum sedang menyelidiki tuduhan pelanggaran hukum terkait penggunaan lahan kas desa (TKD) di kawasan Caturtunggal.

Masalah ini mulai menarik perhatian publik pada tahun 2023, setelah beberapa media lokal dan lembaga hukum melaporkan hasil penyelidikan terkait perubahan penggunaan lahan di berbagai lokasi di wilayah Caturtunggal, termasuk Nologaten. Hingga tahun 2025, topik ini tetap menjadi fokus utama pembahasan bagi pemerintah daerah dan masyarakat luas, karena dampaknya belum sepenuhnya ditangani.

Nologaten dan Desa Manggung merupakan bagian dari Kecamatan Caturtunggal, yang berada di bawah wilayah administratif Kabupaten Sleman, Kota Depok. Dari segi geografis, wilayah ini merupakan bagian dari zona perkotaan yang berkembang pesat di sekitar Universitas Gadjah Mada dan pusat-pusat ekonomi di Sleman. Situasi ini telah menyebabkan tekanan yang meningkat terhadap lahan, terutama akibat permintaan ruang untuk perumahan, kegiatan komersial, dan pengembangan infrastruktur. Di tengah proses pertumbuhan ini, jumlah ruang terbuka hijau semakin berkurang, sementara sistem drainase alami mulai mengalami gangguan.

Konflik terkait tanah dan praktik mafia tanah muncul akibat kelemahan dalam sistem pemantauan aset desa, kurangnya transparansi dalam pengelolaan administratif, serta nilai ekonomi tanah yang sangat tinggi di kawasan perkotaan. Menurut Bapak Ali, perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali mengakibatkan hilangnya daerah tangkapan air, peningkatan risiko banjir di tingkat lokal, dan gangguan terhadap mikroklimat lokal. Selain itu, ia menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dapat menyebabkan peningkatan suhu di wilayah tersebut, penurunan kualitas air tanah, dan dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem perkotaan.

Masalah ini sedang ditangani melalui dua pendekatan utama: aspek hukum dan kebijakan perencanaan ruang. Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Desa Caturtunggal saat ini sedang melakukan tinjauan terhadap semua aset tanah desa. Sementara itu, masyarakat telah mulai mengambil inisiatif untuk melakukan pemantauan bersama melalui pembentukan forum masyarakat, dengan tujuan mengidentifikasi aktivitas pembangunan yang mencurigakan. Menurut Bapak Ali, langkah-langkah ini sangat penting agar proses pemulihan perencanaan ruang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memperhitungkan dimensi ekologi. Ia menekankan bahwa keterlibatan masyarakat di setiap tahap perencanaan ruang merupakan kunci untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Konflik tanah di Nologaten tidak hanya berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah, tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam perencanaan ruang dan pemantauan lingkungan di tingkat lokal. Kasus ini menunjukkan bahwa praktik mafia tanah dapat memiliki dampak luas terhadap penggunaan tanah, mengganggu stabilitas ekosistem, dan menurunkan standar hidup masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini memerlukan pendekatan terpadu yang melibatkan langkah-langkah hukum, perencanaan ruang, dan ekologi, disertai dengan partisipasi aktif masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline