Siang panas membahana dengan teriknya, menjadi saksi saat duduk dipojok kafe kota yang khas dengan suara musik sendu tanpa para orkesra.
Hilir mudik para tamu keluar masuk memenuhi kursi-kursi yang kosong. Terdengar sesekali sang pramusaji menghidangkan para pesananan.
Lalu, lamunan ku tergugah oleh ponsel yang berbunyi. Pesan dari sang maestro sastra tentang rangkain kata-kata dengan makna.
Ya, sebuah rangkaian kata dengan makna sastra tentang manisnya hasil alam. Madu!
Lantas aku berteriak dalam diri tanpa suara, Madu dan Madu yang penuh makna disiandingkan dengan ciptaan sang khalik.
Ya, Madu yang manis namun akan sangat pahit jika dimakna dengan simbolik kiasan. Madu, Madu dan Madu yang penuh makna akan sebuah kiasan jika dimaknai oleh Rasa.
Nikmati Madu Mu itu bukan Madu Ku apalagi untuk di Madu Tuan.
Brebes, 5 Maret 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI