Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu agenda nasional yang paling banyak diperbincangkan publik. Tujuan awalnya sederhana namun fundamental, yaitu memastikan setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, mendapatkan asupan gizi yang layak untuk tumbuh sehat dan cerdas. Namun dalam perjalanan, program ini tak luput dari sorotan dan kritik masyarakat. Berbagai aduan publik muncul, mulai dari kualitas makanan yang tidak konsisten hingga dapur penyedia yang belum memenuhi standar.
Di tengah dinamika itu, menarik jika program MBG dilihat bukan sekadar sebagai kebijakan teknis, melainkan juga dari sisi filsafat ilmu, melalui tiga dimensi: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pendekatan ini membantu kita memahami hakikat, pengetahuan, dan nilai yang terkandung dalam program MBG.
Program MBG hadir sebagai wujud nyata dari tanggung jawab negara terhadap pemenuhan gizi rakyatnya, terutama bagi anak sekolah dan ibu hamil. Esensi keberadaannya bukan hanya pada makanan yang dibagikan, tetapi juga pada sistem besar yang menopangnya: dapur penyedia, pengawasan mutu, serta kerja sama lintas lembaga seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, dan Badan Gizi Nasional.
Pemerintah berupaya memaksimalkan kualitas dengan menerapkan sejumlah syarat ketat. Setiap dapur MBG, misalnya, wajib memiliki sertifikat halal, memenuhi standar SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), dan memastikan bahan makanan selalu segar dan layak konsumsi setiap hari. Ini menunjukkan bahwa "ada"-nya MBG bukan sekadar dalam bentuk fisik piring nasi, tetapi juga dalam sistem jaminan mutu yang kompleks.
Namun, di ranah ontologis pula muncul persoalan baru: sejauh mana realitas ideal itu benar-benar terwujud di lapangan? Banyak laporan menunjukkan bahwa dalam praktiknya, tidak semua makanan sampai ke siswa dalam keadaan layak. Ada dapur yang kesulitan memenuhi standar, keterlambatan distribusi, hingga kualitas bahan yang menurun karena rantai pasok yang panjang. Maka, ontologi MBG mencerminkan dua sisi: niat luhur negara untuk menghadirkan gizi merata, dan kenyataan empiris yang menantang di lapangan.
MBG menekankan bahwa makan bergizi bukan hanya soal kenyang, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan gizi dan keamanan pangan diterapkan secara konkret. Program ini dibangun di atas kesadaran ilmiah bahwa makanan yang baik bukan hanya lezat, tetapi juga aman, bergizi, dan dikonsumsi dalam waktu yang tepat.
Dalam praktiknya, mitra penyedia MBG harus memastikan bahwa setiap makanan yang dikirim ke sekolah tidak boleh dikonsumsi lebih dari dua jam setelah proses produksi. Bila lewat dari batas waktu tersebut, pihak sekolah wajib melapor agar makanan baru segera disiapkan. Ini sejalan dengan ilmu gizi dan keamanan pangan yang menyebutkan bahwa makanan yang dibiarkan pada suhu ruang lebih dari dua jam berpotensi menjadi sarang pertumbuhan bakteri.
Untuk itu, mitra MBG juga menetapkan standar ketat: proses pengantaran maksimal 30 menit, dengan jarak tidak lebih dari 5 kilometer dari dapur ke sekolah.. Artinya, epistemologi MBG tak hanya bicara tentang teori gizi, tetapi tentang bagaimana pengetahuan ilmiah diterjemahkan menjadi sistem operasional yang bisa diukur dan diawasi.
Namun, di sinilah letak tantangannya. Bagaimana memastikan bahwa semua mitra dan sekolah memahami serta menerapkan standar itu dengan konsisten? Apakah pelaporan benar-benar akurat, dan bagaimana mekanisme verifikasi di lapangan dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bagian dari dinamika epistemologis MBG --- sejauh mana kebenaran pengetahuan dalam kebijakan publik bisa diuji dalam realitas sosial.
MBG adalah pengejawantahan dari nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Ia berangkat dari niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak usia dini. Anak-anak yang cukup gizi diharapkan tumbuh sehat, cerdas, dan produktif --- menjadi modal masa depan bangsa.