Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Kendali PBB Daerah: Antara Kewenangan dan Keadilan

Diperbarui: 15 Agustus 2025   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi di Istana, Jakarta, Rabu (13/8/2025).(KOMPAS.com/Rahel)

Kendali PBB Daerah: Antara Kewenangan dan Keadilan

"Kebijakan pajak bukan sekadar angka, tapi rasa keadilan yang dirasakan rakyat."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Rabu, 13 Agustus 2025, Istana Kepresidenan menjadi sorotan setelah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi membantah tudingan bahwa maraknya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di berbagai daerah disebabkan oleh berkurangnya transfer anggaran dari pusat (Kompas.com, 14/8/2025). Pernyataan ini muncul di tengah gelombang protes di sejumlah wilayah, seperti Pati, Jombang, Bone, Cirebon, dan Semarang, yang masyarakatnya merasa terbebani oleh lonjakan tarif pajak. Fenomena ini memantik diskusi publik tentang hubungan antara kebijakan daerah, daya beli warga, dan arah pembangunan.

Urgensi isu ini tak dapat diabaikan karena menyangkut prinsip dasar keadilan fiskal di tingkat lokal. Dalam konteks ekonomi pascapandemi, kenaikan pajak yang signifikan berpotensi memperburuk ketimpangan dan memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Apalagi, beberapa kebijakan kenaikan PBB ini dianggap tidak memperhatikan kemampuan warga untuk membayar.

Penulis tertarik mengulasnya karena fenomena ini mencerminkan dinamika tarik-menarik antara kewenangan daerah dan kebutuhan melindungi kepentingan rakyat. Di satu sisi, otonomi daerah memberi ruang kreatif untuk menggali PAD (Pendapatan Asli Daerah). Di sisi lain, kebijakan fiskal yang tidak selaras dengan kondisi sosial-ekonomi justru bisa memicu krisis legitimasi pemerintahan daerah.

1. Otonomi Daerah dan Kebijakan Pajak yang Berbeda

Kenaikan PBB di berbagai daerah sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. Mensesneg Prasetyo menegaskan bahwa setiap daerah memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan tarif pajak, bergantung pada kebutuhan dan rencana pembangunan mereka. Kebijakan di Pati, misalnya, tentu berbeda dengan Bone atau Cirebon, baik dari segi besaran kenaikan maupun alasan penerapannya.

Namun, perbedaan ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana pemerintah daerah benar-benar mempertimbangkan daya beli masyarakat? Ketika kenaikan mencapai 250 hingga 1.000 persen, seperti di Pati dan Cirebon, publik wajar mempertanyakan urgensi dan rasionalitasnya. Keputusan fiskal yang tidak transparan dapat menimbulkan persepsi bahwa pajak hanya menjadi instrumen penarikan dana, bukan peningkatan layanan publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline