Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Keamanan Tak Boleh Sekadar Janji: Data Pribadi Adalah Hak, Bukan Komoditas

Diperbarui: 26 Juli 2025   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mensesneg Prasetyo Hadi. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa. /GALIH PRADIPTA ANTARA FOTO

Keamanan Tak Boleh Sekadar Janji: Data Pribadi Adalah Hak, Bukan Komoditas
"Dalam dunia digital, transparansi bukan hanya nilai tambah, melainkan syarat mutlak kepercayaan publik."

Oleh Karnita

Ketegangan Sunyi di Balik Layar Digital

Mata publik Indonesia tertuju pada isu yang menyeruak perlahan namun mengusik rasa aman: kerja sama Indonesia–Amerika Serikat soal keamanan digital. Pada 25 Juli 2025, Pikiran Rakyat memuat berita berjudul "Istana: Tak Ada Penyerahan Data Pribadi ke AS, Hanya Soal Keamanan Platform". Pernyataan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tak ada penyerahan data pribadi warga negara kepada AS, melainkan bentuk kerja sama untuk mengamankan proses input data yang dilakukan warga saat mengakses berbagai platform digital. Meski narasi yang dibangun terdengar menenangkan, artikel ini menimbulkan ketertarikan penulis karena justru memunculkan pertanyaan penting: di era digital, siapa yang sebenarnya memegang kendali atas data kita?

Ketertarikan penulis terhadap isu ini berangkat dari urgensi membangun literasi publik terhadap tata kelola data pribadi. Dalam ekosistem digital yang sarat interkoneksi lintas negara dan platform, transparansi bukan sekadar retorika melainkan prasyarat legitimasi. Ketika Istana menyampaikan klarifikasi seperti itu, masyarakat berhak tahu lebih dalam: bentuk kerja samanya seperti apa? Apa yang dimaksud dengan ‘pengamanan platform’? Dan bagaimana keterlibatan pihak asing diatur dalam kerangka hukum nasional?

Di tengah gempuran teknologi dan intervensi algoritma, data pribadi telah menjadi mata uang baru yang sangat bernilai. Maka, menjaga integritas dan kedaulatannya bukanlah urusan teknis semata, melainkan soal kepercayaan publik, etika pemerintahan, serta hak konstitusional warga. Artikel ini mengupas lima sisi penting dari isu kerja sama keamanan digital ini, dan mengajak kita semua untuk tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tapi juga penjaga kedaulatan data.

1. Dari Klarifikasi Istana ke Kewaspadaan Publik

Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi yang menekankan tidak adanya penyerahan data pribadi kepada AS patut diapresiasi sebagai bentuk keterbukaan. Namun, publik perlu menggali lebih dalam konteks dan rincian kerja sama tersebut. Apakah kerja sama ini menyangkut penguatan enkripsi, audit keamanan sistem, atau interoperabilitas lintas server? Ketika informasi masih bersifat umum, celah spekulasi tetap terbuka.

Kekhawatiran masyarakat bukan tanpa dasar. Dalam sejarah digital global, kerja sama keamanan kerap menjadi titik masuk pengawasan massal atau data mining terselubung. Tanpa spesifikasi teknis dan kejelasan kerangka hukum yang dijadikan dasar kerja sama, penolakan publik akan menjadi respons wajar yang perlu ditanggapi dengan kebijakan yang lebih komunikatif dan transparan.

Refleksi dari klarifikasi Istana ini adalah pentingnya kejelasan narasi komunikasi publik. Negara tak bisa lagi mengandalkan imbauan “jangan khawatir” tanpa transparansi data dan proses. Kepercayaan bukan dibangun dari instruksi, melainkan dari akses informasi yang jujur dan kredibel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline