"Jangan menunggu bencana datang baru sadar pentingnya air."
Pendahuluan
Rabu, 23 April 2025, media Republika memuat kabar penting dari Tasikmalaya: Pemkot setempat tengah menyusun regulasi yang mewajibkan setiap rumah membuat satu lubang biopori.
Inisiatif ini digulirkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebagai langkah antisipatif terhadap makin berkurangnya cadangan air tanah dan meningkatnya masalah limbah organik rumah tangga.
Kepala DLH, Deni Diyana, menyatakan bahwa kebijakan ini akan dituangkan dalam surat edaran Wali Kota dan menjadi bagian dari program "Satu Rumah Satu Biopori".
Langkah ini muncul di tengah kekhawatiran terhadap laju alih fungsi lahan di perkotaan, terutama di kawasan pemukiman padat yang minim ruang hijau dan resapan.
Deni mengungkapkan bahwa setelah hanya lima bulan musim kemarau, banyak sumur warga di Tasikmalaya mulai mengering. Fakta ini menunjukkan bahwa ancaman kekeringan bukan lagi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang perlu ditanggapi serius.
Sebagai warga yang mencintai kotanya dan merindukan keberlanjutan, saya menyambut baik arah kebijakan ini.
Namun sebagaimana lazimnya kebijakan lingkungan di Indonesia, pertanyaannya selalu sama: apakah kebijakan ini akan tinggal sebagai tulisan di atas kertas? Ataukah benar-benar mengakar hingga menjadi kebiasaan warga sehari-hari?
Membenahi Mentalitas 'Asal Bangun Jadi'