Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, pembangunan perumahan di Tasikmalaya terjadi secara masif dan sporadis. Sayangnya, perluasan hunian ini lebih sering menekankan estetika dan profit ketimbang fungsi ekologis.Â
Banyak pengembang yang menebang pohon, meratakan bukit, lalu mendirikan deretan rumah tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Kawasan yang dulunya subur dan penuh semak alami kini berubah menjadi tembok demi tembok. Tanah menjadi kedap air, dan hujan yang turun tak lagi bisa meresap sempurna.Â
Di sinilah urgensi lubang biopori tak bisa dianggap sepele. Ia bukan hanya simbol, tapi instrumen nyata yang menunjukkan bahwa kita bersedia memberi kembali pada bumi apa yang telah kita ambil darinya.
Namun, selama ini kita terbiasa dengan mentalitas 'asal bangun jadi'. Taman hanya menjadi formalitas, dan lubang resapan dianggap pengganggu estetika.Â
Maka tugas kita kini bukan hanya menggali tanah, tapi juga menggali ulang cara berpikir kita tentang rumah dan ruang hidup yang sehat.
Kritik: Wajibkan Tanpa Edukasi = Percuma
Kebijakan lingkungan tanpa pendidikan hanya akan menghasilkan kepatuhan semu. Warga mungkin membuat lubang biopori karena takut kena teguran, tapi tanpa pengetahuan yang memadai, lubang-lubang itu bisa jadi jebakan nyamuk atau malah tersumbat sampah plastik. Ini bukan hasil yang kita inginkan.
Pertanyaannya: apakah warga sudah paham bagaimana membuat biopori yang efektif? Apakah mereka tahu bahwa lubang itu sebaiknya diisi limbah organik, bukan plastik atau puntung rokok? Tanpa edukasi, biopori hanya akan menjadi proyek musiman yang sebentar lagi dilupakan.
Maka pemerintah perlu memulai dari yang paling dasar: edukasi yang menyentuh warga langsung. Sosialisasi di tingkat RT, demo membuat biopori di halaman masjid atau sekolah, hingga pelatihan warga secara berkala. Ini bukan kerja instan, tapi hasilnya akan jauh lebih berdampak ketimbang sekadar edaran wali kota.