Ramadan, bulan suci yang penuh berkah, seringkali diiringi dengan peningkatan konsumsi makanan. Tradisi berbuka puasa bersama dan persiapan sahur yang lebih meriah, sayangnya, seringkali berujung pada peningkatan limbah makanan.
Tumpukan sisa makanan di meja makan, pasar, dan bahkan tempat ibadah menjadi pemandangan yang umum. Ironisnya, di bulan yang seharusnya menjadi momen refleksi dan pengendalian diri, kita justru terjebak dalam pola konsumsi berlebihan yang merugikan lingkungan.
Kondisi ini bukan hanya masalah estetika, tetapi juga masalah etika dan keberlanjutan. Limbah makanan yang menumpuk tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga merupakan bentuk pemborosan sumber daya yang tidak bijak.
Padahal, di luar sana, masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan makanan. Oleh karena itu, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk kita lebih bijak dalam mengelola konsumsi makanan, mulai dari perencanaan belanja hingga pengolahan sisa makanan.
Peningkatan Limbah Makanan Saat Ramadan
Peningkatan limbah (beban) makanan saat Ramadan bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari pola konsumsi yang perlu dievaluasi. Tradisi buka puasa bersama di masjid, acara keluarga, dan berbagai kegiatan sosial seringkali menyajikan hidangan dalam jumlah besar, yang seringkali tidak habis.
Pasar Ramadan yang ramai dengan berbagai jajanan dan hidangan siap saji juga menjadi penyumbang besar limbah makanan. Masyarakat cenderung membeli makanan dalam jumlah berlebih, tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk menghabiskannya, sehingga sisa makanan menumpuk di rumah tangga dan tempat-tempat umum.
Dampak dari peningkatan limbah makanan ini sangat merugikan. Selain mencemari lingkungan melalui emisi gas metana yang dihasilkan dari proses pembusukan, limbah makanan juga menyebabkan pemborosan sumber daya yang berharga.
Air, energi, dan lahan yang digunakan untuk produksi makanan terbuang percuma, padahal sumber daya tersebut sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah.
Secara ekonomi, limbah makanan juga merugikan karena makanan yang terbuang sebenarnya memiliki nilai jual atau dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. Tempat pembuangan akhir (TPA) pun semakin penuh dengan sampah organik, yang memperparah masalah pengelolaan sampah.
Di sisi lain, peningkatan limbah makanan saat Ramadan juga mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya menghargai makanan. Padahal, di bulan suci ini, kita diajarkan untuk lebih bersyukur atas nikmat yang diberikan dan berbagi dengan sesama.