Lihat ke Halaman Asli

Dilarang Sekolah Tinggi, Dipaksa ke Dapur: Bukti Pendidikan Indonesia Masih Patriarkal

Diperbarui: 29 Mei 2025   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Cewek tuh kodratnya di dapur, enggak perlu Pendidikan tinggi!"

Survei LSI (2022) mengungkap 28% masyarakat Indonesia masih percaya perempuan tidak perlu sekolah tinggi jika hanya akan 'berakhir di dapur'- bukti nyata bagaimana patriarki membatasi akses pendidikan Perempuan.

Okay, apa kalian sering dengar kalimat seperti itu? Gimana tanggapain kalian, apakah malah setuju? Kalimat tidak asing itu sering kita dengar, bahkan di 2024, omongan kolot ini masih sering dilontarkan- di keluarga, pengajian, bahkan kampus. Sepele? Sama sekali enggak. Ini adalah wajah nyata patriarki yang menggerogoti hak perempuan, dengan dalih agama.

Sebelum lanjut-, sebenarnya, patriarki itu apa, sih? Patriarki merupakan sebuah sistem dimana laki-laki dianggap lebih tinggi serta memiliki kuasa dibandingkan perempuan. Perempuan? Cuma jadi pelengkap, bahkan sering dianggap tak penting. Di Indonesia, sistem ini masih kental banget: dari dunia pendidikan, hukum, sampai urusan rumah tangga.

Tidak jarang melihat, atau mendengar berita tentang lelaki yang mendominasi perempuan- dengan bahkan merendahkan mereka. Padahal Nabi Muhammad SAW-  atau bahkan Allah SWT. saja memerintahkan untuk memuliakan perempuan, memberikan hak-haknya. Tetapi nyatanya? In real life, sering ditemui budaya patriarki, dengan dalih patuh kepada suami, patuh kepada peraturan, dan dalih taat beragama. Kekerasan dan penindasan terjadi di balik kata "patriarki" dan menjadikan agama sebagai tameng untuk menjustifikasi perbuatannya itu.

Ironisnya, budaya yang sudah diturun-temurunkan ini justru bertolak belakang dengan ajaran Nabi yang memuliakan perempuan. Masih banyak yang menormalisasikan budaya yang terus diturunkan oleh nenek moyang kita ini. Of course, budaya ini tidak sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, di mana manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah SWT. Seperti dalam firman-Nya yang tercantum pada Q.S An-Nisa ayat 124, "Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."

Nah, berdasarkan firman tersebut, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam meraih kemuliaan Allah SWT. Begitu pula dalam konteks sosial, maupun akademik, siapa saja dapat memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada batasan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Salah satu ayat yang kerap menjadi perbincangan adalah Q.S. An-Nisa:34, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai landasan normatif bagi sistem patriarki dalam masyarakat Muslim. Ayat ini membahas peran laki-laki sebagai "qawwam" (pemimpin atau pelindung) atas perempuan, yang seringkali diinterpretasikan sebagai justifikasi atas dominasi laki-laki dalam kehidupan rumah tangga dan sosial.

Qawwamah dalam ayat ini hanya khusus dalam keluarga. Qawwamah bukan hanya diartikan sebagai pemimpin, namun mempunyai arti yang sangat luas, yaitu mengatur, melindungi, mendidik, sampai menuntun istri. Di dalam ayat ini sebenarnya sudah terdapat indikasi bahwa yang dimaksud al-rijl di sini adalah suami. Dengan terdapatnya lafaz bim anfaq min amwlihim. Maknanya bukan cuma "ngatur", tapi juga melindungi, mendidik, dan menafkahi (Nana Gustianda, 2024).

Narasi patriarkal kerap mengklaim, "Perempuan enggak boleh bekerja! Itu tugas suami, perempuan di rumah saja!" Padahal, sejarah mencatat: Khadijah, istri Nabi Muhammad, adalah seorang CEO bisnis multinasional,  ada juga Aisyah, ia adalah guru besar hadits yang muridnya mayoritas laki-laki, dan kemudian Ratu Shajar al-Durr pernah memimpin Mesir di abad ke-13. Lalu, mengapa praktik beragama kita justru malah memandang rendah dan mendiskriminasi perempuan?

Dalam budaya patriarki di Indonesia, status perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki. Bahkan, di beberapa daerah yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, pihak laki-laki mempunyai kekuasaan lebih besar dibandingkan perempuan. Tugas perempuan adalah mengurus keluarga dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Perempuan dianggap lemah dan tidak perlu melanjutkan pendidikan tinggi. Budaya ini bukan cuma merendahkan, tapi melukai jutaan perempuan yang dipaksa percaya bahwa derajat mereka lebih rendah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline