Tadi sore, pukul 16.00 WIB, selepas pulang kantor, saya memutuskan untuk mampir ke Terminal Senen.
Setelah memarkirkan sepeda motor, saya berkeliling terminal, yang tampak sepi di penghujung hari.
Beberapa bus Transjakarta sedang ngetem menunggu penumpang, sementara Jaklingko pun terlihat berjejer rapi.
Suasana yang tenang ini membuat saya terhenyak, di mana suara-suara yang dulu memenuhi ruang ini?
Di sisi kiri terminal, seorang konduktor masih setia memanggil-manggil penumpang untuk naik ke bus Transjabodetabek rute Ciawi-Uki-Senen.
Saya tersenyum, ketika pak kondektur melihat ke arah saya, dan memanggil saya untuk naik ke bus.
Suaranya menggema di ruang yang luas, namun terdengar hampa. Tidak ada lagi sahutan riuh dari puluhan kondektur lain yang bersaing menarik penumpang.
Sementara di sisi kanan, para pedagang buku bekas duduk dengan sabar menunggu pembeli yang entah kapan datang.
Di depan pintu masuk utama, sebuah bus Transjakarta rute Senen-Bekasi sempat berhenti menurunkan penumpang sejenak, lalu menghilang kembali ke hiruk pikuk Jakarta, dengan hampir tanpa suara.
Terminal Senen telah kehilangan suaranya. Suara yang dulunya menjadi identitas, yang membuat terminal ini hidup dan berkarakter.