Memimpin bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah sebuah tugas yang sederhana. Kesederhanaan ini berakar pada fondasi karakter bangsa yang memiliki modal sosial luar biasa, seperti semangat gotong royong, tingkat toleransi yang tinggi, dan daya tahan (resiliensi) dalam menghadapi berbagai krisis. Secara teoretis, seorang pemimpin yang datang dengan itikad baik, transparansi, dan program yang berorientasi pada kepentingan bersama akan menemukan lahan subur dalam partisipasi publik. Rakyat pada dasarnya mendambakan keteraturan, keadilan, dan kemajuan, sehingga kepemimpinan yang tulus akan lebih mudah mendapatkan legitimasi dan dukungan.
Kompleksitas dan kesulitan yang sesungguhnya mulai muncul ketika niat untuk melayani publik tercemari oleh agenda tersembunyi, yang secara lugas disebut sebagai "menyembunyikan hasil colongan". Istilah kolokial ini merujuk pada praktik korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan akumulasi kekayaan secara tidak sah. Pada titik inilah, energi seorang pemimpin tidak lagi terfokus pada tata kelola pemerintahan yang efektif, melainkan pada upaya sistematis untuk mengamankan dan menyembunyikan keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Upaya penyembunyian ini melahirkan serangkaian tindakan yang secara inheren membuat kepemimpinan menjadi rumit. Pertama, birokrasi sengaja dibuat berbelit dan tidak transparan untuk mengaburkan jejak aliran dana dan keputusan. Kedua, institusi penegak hukum dan lembaga pengawas (seperti KPK, kejaksaan, atau lembaga audit) berpotensi dilemahkan atau diintervensi agar tidak mampu menjalankan fungsinya secara independen. Ketiga, meritokrasi dalam penempatan pejabat publik digantikan oleh nepotisme dan kronisme, karena yang dibutuhkan bukanlah kompetensi, melainkan loyalitas untuk menjaga rahasia.
Implikasinya bersifat sistemik dan destruktif. Kebijakan publik tidak lagi dirancang untuk efektivitas, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan tersembunyi. Polarisasi sosial terkadang sengaja diciptakan sebagai strategi pengalihan isu (deviasi) agar perhatian publik teralihkan dari skandal korupsi ke konflik horizontal. Energi bangsa yang seharusnya digunakan untuk inovasi dan pembangunan terkuras habis oleh drama politik yang diciptakan untuk menutupi kebobrokan.
Jadi kesulitan memimpin Indonesia bukanlah kesulitan teknokratis dalam mengelola negara kepulauan yang majemuk. Sebaliknya, ia adalah kesulitan yang lahir dari krisis integritas. Beban untuk terus-menerus merekayasa kebohongan, membangun alibi, dan mempertahankan jejaring koruptif inilah yang mengubah tugas mulia memimpin bangsa menjadi sebuah pekerjaan yang teramat sulit dan melelahkan. Pada akhirnya, kepemimpinan yang jujur dan berintegritas akan menemukan jalannya sendiri menuju kesederhanaan, karena ia selaras dengan nurani dan harapan terbesar rakyatnya.
Memaafkan Bukan Melupakan
Salah satu paradoks yang paling menonjol dalam lanskap sosiopolitik Indonesia adalah karakter kolektif bangsa yang cenderung mudah memaafkan "dosa-dosa" para pemimpinnya. Fenomena ini bukanlah cerminan dari kelemahan, melainkan berakar pada jalinan kompleks nilai-nilai budaya dan religius. Kultur paternalistik yang masih kuat memposisikan pemimpin sebagai sosok "orang tua" atau "sesepuh" yang kesalahannya dapat dimaklumi. Diperkuat oleh ajaran agama yang menekankan pentingnya pengampunan (maaf) dan kearifan lokal seperti "mikul dhuwur mendhem jero" (menjunjung tinggi kebaikan, mengubur dalam-dalam keburukan), masyarakat sering kali menunjukkan magnanimitas yang luar biasa. Seorang pemimpin yang terjerat skandal korupsi atau mengeluarkan kebijakan kontroversial bisa jadi mendapatkan kembali simpati publik hanya dengan gestur simbolis, permohonan maaf, atau program populis sesaat. Siklus kemarahan publik seringkali bersifat temporer, mudah surut, dan digantikan oleh harapan baru.
Akan tetapi, di balik fasad pemaaf ini, tersembunyi sebuah kebenaran yang tak terbantahkan: melupakan dosa-dosa itu adalah sebuah kemustahilan. Memaafkan adalah tindakan emosional dan spiritual yang bersifat personal atau komunal dalam jangka pendek, sementara melupakan adalah proses kognitif yang gagal terjadi ketika jejak pelanggaran tersebut terpatri secara permanen dalam struktur sosial, ekonomi, dan hukum. "Dosa" seorang pemimpin dalam bentuk kebijakan yang koruptif atau tidak adil akan meninggalkan luka sejarah (historical scars) yang abadi. Utang negara yang membengkak, kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan, ketidaksetaraan akses terhadap keadilan, atau trauma akibat pelanggaran hak asasi manusia adalah monumen hidup dari kesalahan masa lalu.
Memori kolektif ini terus hidup dan diwariskan, meskipun tidak selalu menjadi narasi dominan. Ia tersimpan dalam arsip-arsip sejarah alternatif, dalam karya sastra dan seni, dalam diskusi-diskusi di ruang akademik, dan yang terpenting, dalam pengalaman pahit yang dirasakan oleh generasi penerus. Memori ini berfungsi sebagai "rekening historis" yang belum lunas. Ia bisa saja tertidur atau sengaja ditidurkan oleh narasi kekuasaan, tetapi ia tidak akan pernah benar-benar hilang.
Dalam dinamika politik, memori yang tak terlupakan ini menjadi sebuah variabel laten yang sangat kuat. Ia dapat meledak menjadi gerakan sosial ketika dipicu oleh krisis baru yang mengingatkan pada pola lama. Ia menjadi amunisi politik bagi lawan untuk mendelegitimasi petahana, membuktikan bahwa meskipun masyarakat telah "memaafkan", catatan sejarah pelanggaran itu tetap menjadi referensi moral dan politik. Dengan demikian, karakter bangsa Indonesia menampilkan sebuah dualisme yang unik, hati yang lapang untuk memberi maaf, namun ingatan yang tajam untuk menolak amnesia. Keseimbangan antara dua kutub inilah yang terus-menerus membentuk dan mewarnai perjalanan demokrasi bangsa.
Eskapisme Ciu