Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Mikul Dhuwur Mendhem Jero", Kearifan Jawa di Era Medsos

9 September 2025   15:44 Diperbarui: 11 September 2025   15:50 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mikul duwur mendem jero 'mengangkat yang luhur, menyimpan yang rapuh'—menjaga keluarga, menjaga cinta. (Foto: T Focando/Unsplash)

Curhat di Medsos, Fenomena 'Oversharing' Digital

Media sosial saat ini sudah jadi semacam "buku harian terbuka." Apa saja bisa ditulis: keluh kesah pekerjaan, komentar tentang politik, hingga persoalan rumah tangga yang sebenarnya sangat pribadi.

Di satu sisi, media sosial memberi ruang lega—kita merasa didengar, mendapat simpati, bahkan dukungan. Ada semacam kehangatan ketika orang lain menuliskan komentar: "Sabar ya, kamu kuat, kok."

Namun di sisi lain, curhat di ranah publik ibarat membuka jendela rumah selebar-lebarnya: membiarkan orang lain melihat bagian dalam yang seharusnya hanya milik keluarga.

Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah: apakah semua hal memang pantas diumbar ke ranah publik? Apakah rasa lega sesaat sebanding dengan risiko menggores harga diri keluarga yang seharusnya kita jaga?

Memahami Pepatah Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Dalam budaya Jawa, pertanyaan semacam ini sudah lama dijawab lewat sebuah pepatah yang sederhana, tetapi dalam: mikul dhuwur mendhem jero.

Secara harfiah, mikul berarti mengangkat, mendhem berarti mengubur, sementara dhuwur dan jero mengacu pada ketinggian dan kedalaman.

Filosofi ini mengajarkan keseimbangan: di satu sisi kita menjaga wibawa keluarga, di sisi lain tetap ada ruang untuk mengurai konflik.

Dalam praktik, artinya sederhana: tidak mempermalukan keluarga di depan umum, tetapi juga tidak mengabaikan kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan.

Tradisi lisan Jawa awalnya menekankan filosofi ini pada hubungan anak terhadap orang tua. Anak dituntun untuk selalu menjaga nama baik orang tua, sekalipun ada luka atau ketidaksempurnaan.

Namun, bila ditarik lebih luas, nasihat ini juga sangat relevan untuk hubungan dalam keluarga kecil: suami-istri yang saling menutupi aib pasangannya, orang tua yang tidak mempermalukan anaknya, atau bahkan anak yang tetap menjaga harga diri saudara kandungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun