Dengan demikian, proposisi ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang lebih radikal: fasad kearifan lokal "mikul dhuwur mendhem jero" telah kehilangan relevansinya dalam diskursus publik kontemporer. Filosofi yang dahulu berfungsi sebagai perekat sosial dan mekanisme penghormatan terhadap otoritas, kini justru dilihat sebagai alat untuk melanggengkan impunitas. Ia dianggap sebagai selubung budaya yang menuntut rakyat biasa untuk "mengubur dalam-dalam" luka dan kerugian yang diakibatkan oleh para elite, sementara para elite itu sendiri terus "dijunjung tinggi" tanpa akuntabilitas yang sepadan.
Pergeseran ini melahirkan sebuah subversi semantik yang luar biasa sinis, sebagaimana tergambar dalam adagium tandingan dari akar rumput: "mikul dhuwur mendhem ciu". Ungkapan ini, yang lahir dari pengalaman nyata di level komunal seperti di sebuah perkampungan, adalah sebuah diagnosis sosial yang pedas. "Mendhem jero" (mengubur dalam-dalam) yang bersifat metaforis telah digantikan oleh "mendhem ciu" (mabuk oleh ciu), sebuah tindakan yang sangat konkret dan visceral. Ciu, atau sebut saja anggur tradisional Jawa, di sini tidak lagi sekadar minuman, melainkan bertransformasi menjadi sebuah metafora untuk anestesi sosial dan psikologis.
Fenomena "mendhem ciu" ini dapat dianalisis sebagai bentuk perlawanan pasif (passive resistance) atau, lebih tepatnya, sebuah strategi bertahan hidup (coping mechanism) di tengah impotensi politik. Ketika memori kolektif tentang "dosa-dosa pemimpin" terus-menerus menimbulkan gejolak batin, sebuah campuran antara kemarahan, kekecewaan, dan ketidakberdayaan, namun saluran untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut keadilan terasa tersumbat, maka masyarakat mencari cara untuk menenangkan jiwa. Eskapisme melalui "ciu" menjadi jalan pintas untuk meredam disonansi kognitif antara harapan ideal akan kepemimpinan yang adil dan realitas kepemimpinan yang koruptif. Eskapisme adalah kecenderungan seseorang untuk menjauhkan diri dari kenyataan hidup sehari-hari yang dirasa sulit atau tidak menyenangkan, dengan mencari pelarian melalui aktivitas atau imajinasi.
Lebih jauh lagi, praktik ini mencerminkan sebuah pragmatisme yang kelam. Masyarakat seolah-olah sampai pada sebuah kesepakatan tak tertulis, "daripada menghabiskan energi untuk marah dan berkonflik tanpa hasil yang jelas, lebih baik menenangkan diri, menumpulkan rasa sakit, dan kembali fokus pada perjuangan hidup yang paling mendasar, bekerja keras untuk menatap masa depan." Ini adalah bentuk depolitisasi yang dipaksakan oleh keadaan. Politik tidak lagi dilihat sebagai arena untuk memperjuangkan kebaikan bersama, melainkan sebagai sebuah panggung sandiwara elite yang bising dan menyakitkan, yang lebih baik diabaikan demi kesehatan mental dan kelangsungan ekonomi pribadi.
Pada akhirnya, transformasi dari "mendhem jero" menjadi "mendhem ciu" adalah sebuah lonceng kematian bagi kontrak sosial yang berbasis pada kepercayaan dan penghormatan. Ia menandakan era di mana rakyat tidak lagi menaruh harapan pada perbaikan sistemik dari atas, melainkan memilih untuk mengelola kekecewaan mereka secara individual. Kepemimpinan tidak lagi ditakuti atau dihormati, melainkan hanya ditoleransi dengan bantuan "anestesi" agar kehidupan sehari-hari dapat terus berjalan. Inilah potret masyarakat yang telah lelah memaafkan dan tak mampu melupakan, sehingga memilih jalan ketiga, mengebiri rasa sakitnya sendiri.
BTW, rumah saya 4,5 kilometer dari pusat produsen ciu terkenal. Mau pesen?
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI