Lihat ke Halaman Asli

Irna Djajadiningrat

Pegiat Literasi

Gaya Hidup dan Ceteris Paribus

Diperbarui: 17 November 2022   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ceteris Paribus  "all things are being equal".  Para ahli ekonomi menggunakan hukum ceteris paribus untuk membuat model gejala ekonomi.  Kondisi ceteris paribus adalah sebuah asumsi klasik dimana faktor-faktor lain selain faktor yang diteliti dianggap konstan atau tetap. Ceteris Paribus  digunakan untuk menyederhanakan analisis ekonomi  agar dapat ditarik asumsi yang baik dan akurat. Jadi variabel-variabel yang dipandang tidak penting dihilangkan saja.

Karena manusia itu makhluk ekonomi, segala aktivitas pasti akan diperhitungkan "untung-ruginya". Untung-rugi ini tentu saja tidak selalu dalam bentuk materi, tetapi meliputi banyak hal yang biasanya menjadi dambaan atau harapan manusia. Berbeda dengan analisis ekonomi yang bisa "mengabaikan" variabel yang tidak berkaitan langsung, kebanyakan manusia agak sulit mengabaikan variabel tertentu meskipun sesungguhnya tidak berdampak secara langsung terhadap dirinya.

"Faktor lain" yang sebenarnya tidak terlalu penting dalam hidup ini justru kerap kali tidak bisa dibuat menjadi "konstan" agar tidak mengusik kehidupan. Apalagi jika "faktor lain" itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan perubahan sosial, cara pandang terhadap nilai-nilai hidup, gaya hidup dan hal-hal yang dipandang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.

Sulit dibayangkan untuk "menceteris-paribuskan" kecenderungan "trend" atau gaya hidup agar prilaku  orang tidak berubah. Perubahan gaya hidup yang bersifat "kebendaan" ternyata mampu mengikis tata nilai hidup seseorang hanya karena mengedepankan persoalan gengsi, pamer atau sejenisnya. Sebagai contoh, gejala penggunaan gawai di semua lapisan masyarakat yang terus meningkat, tidak peduli apakah orang benar-benar membutuhkannya atau dibuat seakan-akan butuh. Tetapi hal tersebut tidak membuat harga gawai menjadi turun. 

Ternyata, Hukum Permintaan bahwa harga menentukan besar kecilnya permintaan (Alfred Marshall) tidak berlaku. Rupanya penerapan asumsi ceteris paribus tidak mampu menggambarkan kondisi yang terjadi dalam kehidupan nyata. Apalagi jika berkaitan dengan persoalan pergeseran nilai dan gaya hidup. Nafsu untuk "eksis" di jagat raya masih tinggi. Maka, kerap kali, orang memutuskan untuk membeli atau tidak bukan karena harganya, tetapi lebih berfokus kepada berapa besar tingkat "eksistensi" diri di kalangannya. Persoalan eksistensi diri ini berlaku di semua kelas sosial masyarakat, tentu dengan yang berbeda-beda sesuai strata sosialnya. Dunia, saaat ini,  juga tampak memfasilitasi kaum "hedonis", para pemuja materi dan sejenisnya untuk selalu tampil di dunia maya. Lihat saja bagaimana upaya para pengusaha yang menyediakan lokasi-lokasi yang memiliki kelayakan tingkat tinggi untuk berfoto dan selanjutnya dapat dipublikasikan di sosial media. 

Jika dibuat penyederhanaan, ternyata "budaya" mengunggah aktivitas keseharian di beragam sosial media, bisa jadi, menjadi salah satu penyumbang  gagalnya hukum permintaan. Atas nama gaya hidup kekinian orang akan tetap membeli barang yang diinginkan, bukan dibutuhkan.

Teori kerap kali berbeda dengan kehidupan nyata. Contoh dalam kasus di atas bahwa permintaan turun atau naik bukan karena naik atau turunnya harga tetapi karena dorongan atau hasrat untuk mendapatkan suatu "penghargaan" dari status sosialnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline