Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

TERVERIFIKASI

Penikmat Kopi

One in a Million: Saat Doa Itu Mengiringi Langkah Pertama

Diperbarui: 9 September 2025   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: Meta AI)

Pagi itu, rumah sederhana di kampung terasa berbeda. Tidak ada pesta perayaan, hanya kesibukan kecil yang sarat makna. Bekal seadanya dipersiapkan, seakan cukup menjadi pegangan di tanah rantau yang masih asing. Di sudut ruang, keheningan berbaur dengan harapan yang menahan napas.

Saat tas telah siap, tak ada banyak kata terucap. Bapak lebih memilih diam, sementara ibu berulang kali menata pakaian, seolah ingin menunda detik keberangkatan. Namun, dari tatapan mata mereka, terasa jelas: ada keyakinan yang mereka titipkan. Doa itu mengalir, sederhana tapi tak tergantikan.

Detik yang Membentuk Jejak

Hari itu bukan sekadar awal perjalanan akademik. Ia adalah hari ketika harapan keluarga sederhana diletakkan di pundak seorang anak. Anak ketiga, namun yang pertama berkesempatan kuliah. Ada getar kebanggaan, bercampur cemas, seolah mereka menyerahkan sebagian jiwa kepada masa depan.

Bapak tak banyak bicara, namun diamnya penuh makna. Di wajahnya tergambar perhitungan tentang biaya dan tanggung jawab, tapi juga keyakinan bahwa langkah ini harus ditempuh. Sementara ibu berulang kali menahan air mata, tangannya sibuk melipat pakaian agar terlihat rapi.

Bekal sederhana disiapkan dengan teliti. Sebotol abon ikan asin dan komak totok—kacang koro yang dipipihkan—ditaruh di dalam tas. “Biar bisa jadi lauk kalau sulit makan di sana,” kata ibu. Bekal itu bukan sekadar makanan, melainkan simbol cinta dan cara mereka menjaga dari jauh.

Suasana keberangkatan tidak meriah, tetapi justru di sanalah nilai terbesarnya. Kesahajaan melepas anak bukan berarti minim harapan, melainkan keyakinan penuh bahwa langkah ini akan membuka pintu-pintu baru. Itulah detik yang menorehkan jejak, jejak yang akan diingat selamanya.

Titipan yang Tak Tergantikan

Doa menjadi bahasa yang paling jernih. Tidak selalu diucapkan lantang, seringkali hanya lewat tatapan mata atau sentuhan singkat di pundak. Namun, justru dalam kesunyian itulah doa menjadi kuat—mengalir sebagai titipan yang tak tergantikan.

Sebelum melangkah ke bus yang akan membawa ke kota, ibu sempat berpesan lirih. “Jangan lupa shalat. Ingat rumah, inget gubok gempeng (kampung halaman).” Pesan itu sederhana, tetapi di baliknya tersimpan harapan besar: semoga anak ini tetap berpijak pada akar meski terbang jauh.

Bapak memilih diam, hanya menyalami erat dan mengusap kepala saat tangan itu dicium. Cengkeraman tangannya kaku, seperti ingin menyampaikan seluruh nasihat tanpa kata. Dalam genggaman itu, terasa beratnya melepas, tetapi juga ada keyakinan bahwa perpisahan ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah jalan panjang.

Bagi anak yang dilepas, doa-doa itu menjadi kompas. Di tanah rantau yang asing, ingatan akan tatapan dan genggaman tangan bapak, serta lipatan pakaian ibu, menjadi energi bertahan. One in a million moment itu benar-benar menjadi bekal yang lebih kuat dari sekadar makanan.

Perjalanan yang Tak Mudah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline