Lihat ke Halaman Asli

Ilyaaa

Proses Menuju Karir dan Akademik Penelitian

"Mata yang Tak Lagi Percaya"

Diperbarui: 20 Juni 2025   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Bunga Edelweiss. Sumber: https://pin.it/4L3nfAKFF

"Seperti Edelweiss---tak tumbuh di taman ramai, tapi di sunyi yang tinggi. Tak mudah diraih, tapi setia bertahan. Tak butuh dipuji, cukup dimengerti bahwa ia hidup, meski sendiri, dengan hati yang utuh."

Ada masa dalam hidup di mana seseorang berhenti menggantungkan harapan pada manusia---bukan karena hatinya beku, tetapi karena terlalu sering disapa manis lalu ditinggal diam-diam. Terlalu banyak luka yang datang dari orang yang katanya dekat, terlalu banyak kecewa dari mulut-mulut yang pernah kita percayai. Pada titik itu, diam jadi pilihan yang paling jujur. Bukan karena kehilangan suara, tapi karena suara itu terlalu sering dibungkam sebelum sempat dimengerti.

Dunia, pada akhirnya, adalah panggung dengan penonton yang gemar menilai sebelum benar-benar mengenal. Kita disuruh tersenyum agar tampak baik, disuruh sabar agar tidak disebut lemah, disuruh patuh agar tidak dianggap aneh. Padahal, dalam hati, ada badai yang ingin diberi tempat untuk turun hujan, ada luka yang ingin bernapas tanpa harus ditutup rapi dengan kata "tidak apa-apa".

"Dia" telah mencoba. Menjadi sabar dalam keheningan, menjadi bijak saat diabaikan, menahan amarah yang mendidih agar tak menyakiti siapa-siapa. Tapi rupanya dunia tak cukup puas. Ia memintanya tetap manis meski pahit, tetap kuat meski remuk, tetap tersenyum meski ingin berteriak.

Kepercayaan, baginya, bukan lagi sesuatu yang mudah ditanam. Bukan karena ia tak ingin mempercayai, tapi karena ia tahu: di balik wajah yang tampak ramah, sering tersembunyi niat yang ingin menguasai, bukan menyayangi. Maka ia menaruh batas. Bukan dinding kebencian, melainkan pagar untuk melindungi taman kecil dalam dirinya yang ingin tetap hidup meski dilintasi musim buruk.

"Dia" tidak ingin menjadi mata rantai yang meneruskan luka. Apa yang ia tahu dari rumah, dari ayah, dari cerita-cerita perempuan yang menyimpan tangis dalam tidur mereka---cukup berhenti di tubuhnya. "Dia" tak ingin menjadikan cinta sebagai beban, tak ingin anak-anak yang belum lahir nanti mewarisi trauma yang tak pernah mereka pilih.

Jika itu berarti ia harus berjalan sendiri, ia tidak gentar. Karena lebih baik sendiri dalam damai, dari pada bersama tapi menua dalam kekosongan dan pertengkaran yang tak berkesudahan. Cinta, bila datang, biarlah datang sebagai rumah---bukan sebagai sangkar.
Jika tidak, ia tetap akan hidup sebaik yang ia bisa. Tanpa drama. Tanpa tuntutan.

Dan jika kelak "Dia" mati, kuburkan ia dalam tenang. Tidak perlu ramai. Tidak perlu air mata dari wajah-wajah yang tak pernah hadir saat ia masih berjuang. Cukup ingat "Dia" sebagai seseorang yang pernah memilih untuk jujur, meski jujurnya tak selalu diterima.

Karena hidup bukan tentang memenuhi ekspektasi dunia, tetapi tentang menjaga agar jiwa tidak kehilangan bentuk aslinya di tengah segala kemauan orang lain yang ingin mengubahmu menjadi sesuatu yang bukan kamu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline