Lihat ke Halaman Asli

Ikhtiyatoh

Pengembara

Gencatan Senjata Perang Tarif AS-China, di Mana Posisi Indonesia?

Diperbarui: 27 Mei 2025   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: Canva

Amerika Serikat (AS) yang selama ini getol mengusung pasar bebas, ternyata paling tidak siap menanggung risiko atas kebijakan perdagangan luar negeri tersebut. AS yang dulu menekan China agar lebih terbuka dalam perdagangan, pada akhirnya justru melakukan proteksi produk dalam negerinya. Upaya ekspansi perdagangan yang dilakukan China dipersalahakan oleh AS dengan tudingan bahwa Negeri Tirai Bambu tersebut telah melakukan kecurangan dan ketidakadilan perdagangan yang membahayakan kedaulatan nasional.                  

Perang Tarif

Risiko pasar bebas salah satunya adalah melimpahnya produk impor. Hal ini pun terjadi dalam perdagangan AS yang mana produk impor termasuk produk China membanjir hingga China disebut-sebut mengalami surplus 68% dari ekspor ke AS. Dunia memanas setelah Trump mengumumkan tarif impor baru bertajuk 'Tarif Resiprokal' bagi negara yang mengalami surplus perdagangan, Rabu (2/4/2025). Kebijakan tarif timbal balik tersebut diklaim AS untuk mengakhiri praktik perdagangan yang tidak adil dan melindungi produk dalam negeri.

Meskipun tarif resiprokal diberlakukan bagi lebih dari 50 mitra dagang, tetapi lebih tampak menyasar China. Trump awalnya memberlakukan tarif 10% terhadap produk impor China per Januari 2025. Bulan berikutnya, tarif impor naik menjadi 20%. China pun membalas dengan mengenakan tarif 10-15% terhadap produk agrikultur seperti ayam, kapas, gandum, dan daging dari AS. Per 2 April 2025, AS memberlakukan tarif sebesar 34% terhadap barang impor China dan dibalas dengan tarif yang sama oleh China.

Tak berhenti di situ, tarif impor kembali dinaikkan menjadi 104% oleh AS dan dibalas lagi oleh China dengan tarif 84%. Di saat AS melakukan penundaan tarif untuk negara lain, tarif impor produk China dinaikkan sebesar 125% ditambah 20% tarif sebelumnya hingga menjadi 145%. Puncaknya, mobil listrik dan alat kesehatan dari China dikenakan tarif sebesar 245% per 16 April 2025. Trump seolah-olah ingin memberi hukuman terhadap China atas perdagangan ekspor-impor yang dianggap tidak adil dengan memberlakukan tarif gila-gilaan. 

Diketahui, China menempati urutan kedua yang berkontribusi sekitar 13,5% impor AS. Urutan pertama Meksiko yang berkontribusi sekitar 15,6% impor AS. Urutan ketiga Kanada yang berkontribusi sekitar 12,6% impor AS. Ketiga negara tersebut di tahun 2024 menyumbang sekitar 40% impor AS. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com, impor barang dan jasa AS dari Meksiko mencapai US$466,63 miliar, China senilai US$401,41 miliar, dan Kanada senilai US$377,24 miliar (3/2/2025). Namun, Meksiko dan Kanada tidak masuk daftar tarif resiprokal.  

Senjata Makan Tuan

Selain memproteksi produk lokal, pemberlakuan tarif impor juga berfungsi sebagai sumber pemasukan negara. Seperti diketahui, kebakaran yang melanda AS di bulan Januari lalu tak hanya menimbulkan korban nyawa, tetapi juga mengakibatkan kerusakan luar biasa baik infrastruktur maupun properti. Laporan menyebutkan ada lebih dari 12.000 bangunan rusak dan hancur. Kerugian ekonomi AS diperkirakan mencapai US$135 miliar hingga US$150 miliar atau sekitar Rp2.200 triliun hingga Rp2.447 triliun (tempo.co, 15/1/2025).

Di saat bersamaan, intervensi AS atas invasi Israel di Gaza, atas perang Ukraina-Rusia, dan perang India-Pakistan juga memengaruhi kondisi keuangan AS. Belum lagi utang AS yang makin menggunung. Sekilas, pemberlakuan tarif impor yang tinggi akan menguntungkan. Selain meningkatkan pendapatan negara, kebijakan kenaikan tarif impor bisa menjadi pembuka jalan bagi AS untuk memperbaiki defisit perdagangan. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah dalam negeri, kebijakan tarif resiprokal justru menjadi senjata makan tuan bagi AS.

Kebijakan tarif resiprokal yang sejatinya digunakan untuk memukul China, justru memukul balik AS. Perang tarif menjadikan saham tujuh perusahaan teknologi AS, yaitu Alphabet (induk google), Amazon, Apple, Meta, Microsoft, Nvidia, dan Tesla rontok. Sementara itu, rak-rak Walmart -- perusahaan ritel multinasional Amerika -- mulai banyak yang kosong dan menjadi pemandangan yang mencolok bagi masyarakat di Negeri Paman Sam. Boeing pun ikut terdampak dan terjebak dalam polemik perang tarif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline