Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Pengembara

"Jangan memaksakan diri untuk berlari jika memang tak mampu. Cukup kiranya tidak berjalan di tempat hingga hidupmu lebih bermanfaat untuk orang banyak".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gencatan Senjata Perang Tarif AS-China, di Mana Posisi Indonesia?

18 Mei 2025   06:53 Diperbarui: 27 Mei 2025   01:15 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, ketegangan AS-China sebenarnya bukan kali ini terjadi. Pada masa pemerintahan pertama (2018-2020), Donald Trump menerapkan tarif 25% terhadap produk China terutama produk suku cadang industri. China membalas dengan tarif yang sama untuk produk kendaraan bermotor dan pertanian AS. Upaya gencatan senjata perang tarif pun dilakukan melalui Phase One pada Januari 2020. Saat itu, China berjanji membeli tambahan produk dan jasa AS senilai $200 miliar selama dua tahun, tetapi belum terpenuhi karena Covid-19.

Di masa pemerintahan Joe Biden (2021-2024) hubungan dagang AS-China tak sepanas di masa pemerintahan Trump. Akan tetapi, Biden tetap memberlakukan tarif dari Trump dan meningkatkan bea masuk pada sektor penting seperti kendaraan listrik, aluminium, baja, dan semikonduktor. Biden juga menerapkan kontrol ekspor yang ketat terhadap perkembangan teknologi seperti chip komputer dan kecerdasan buatan (AI). Sementara itu, perusahaan teknologi AS dilarang berbisnis dengan China.

Selain China, sejumlah negara anggota ASEAN juga terkena tarif tinggi seperti Kamboja 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, Myanmar 44%, Thailand 36%, dan Indonesia 32%. Gedung putih menyatakan, China selama ini melakukan transshipment (proses pemindahan barang dari kapal ke kapal di tengah laut) demi menghindari tarif. Sejumlah negara anggota ASEAN mendapat tarif tinggi tak lain karena membuka fasilitas bagi China untuk mengirim barang ke AS. Dari sini, tampak bahwa Trump ingin memutus rantai pasok produk China melalui kebijakan tarif.

Padahal, rantai pasok tak seperti jalan tol yang akan terhenti jika jalan diblokir. Rantai pasok ibarat jalan tikus, jika satu jalan ditutup, maka akan dicari jalan alternatif. Artinya, jika AS berupaya menjagal produk China dengan tarif tinggi, China juga akan berupaya mencari mitra dagang lain. Sebelum menentukan tarif impor yang tinggi, tidakkah Trump membayangkan jika mitra dagang ramai-ramai menghentikan pasokan bahan baku atau bahan setengah jadi ke AS? Sebaliknya, apa yang terjadi jika produk AS kompak ditolak oleh mitra dagang?

Terasa aneh jika Trump terang-terangan mengabaikan faktor moral dan solidaritas dalam perdagangan. Trump masih tampak yakin bahwa negara-negara mitra akan tunduk dengan kemauannya, termasuk China. Trump tentu tidak berharap jika China melawan. China sempat menantang kebijakan irasional pemerintah AS dengan tarif balasan sebesar 125% untuk produk AS. Usai gencatan senjata di Jenewa, Presiden China, Xi Jinping justru melakukan upaya manufer dengan mendekati Amerika Latin dan Karibia sebagai mitra dagang.

Genjatan Senjata

Sikap Trump yang keras menantang China berakhir dengan sikap 'mengalah'. Sebelumnya, Trump menyatakan tidak akan menurunkan tarif impor produk China. Pada akhirnya, kedua negara tersebut melakukan gencatan senjata perang tarif di Jenewa, Swis pada tanggal 10-11 Mei 2025. Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson ditunjuk AS sebagai delegasi. Sementara China menunjuk Wakil Perdana Menteri He Lifeng sebagai delegasi. Dalam negosiasi tersebut, kedua pihak bersepakat melakukan pelonggaran tarif selama 90 hari.

Melihat kasus perang tarif AS-China, ada hal yang patut ditilik lebih jauh terkait keberanian China menantang AS. China yang sempat menjadi negara miskin dan terisolir di tahun 1970-an berhasil melakukan transformasi. Negara tersebut berubah menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar dan tercepat di dunia. Berbagai tekanan ekonomi yang dilakukan AS justru menjadikan China melakukan berbagai inovasi hingga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kini, pasar China merambah ke hampir seluruh penjuru dunia.

Meski demikian, kesuksesan China dalam perdagangan internasional tak bisa menutupi kenyataan bahwa negara tersebut juga memiliki masalah kemiskinan. Peneliti senior dari Centre for International Relations Research (CIRR) dan National Chung Cheng University Taiwan, Song Guocheng, menyoroti kondisi China yang sementara mengalami transformasi signifikan dari 'Impian China' menjadi kemiskinan yang meluas. Menurutnya, gambaran situasi ekonomi China saat ini menjadi masalah mendalam dan tidak dapat disembuhkan.

Data Statistik Partai Komunis China (CCP) juga menunjukkan ada kesenjangan ekstrem si kaya dan miskin, yaitu 960 juta warga China (70% total populasi) berpenghasilan kurang dari RMB2.000 (setara Rp4,3 juta) per bulan. Sementara itu, 1% dari populasi China menguasai 90% kekayaan negara. Artinya, 99% sisanya hanya menguasai 10% kekayaan negara. Demikian halnya data World Bank, menunjukkan, kesenjangan antara keluarga terkaya dan termiskin China mencapai 359 kali lipat (international.sindonesw.com, 16/10/2025).

Selain masalah kemiskinan, China juga berhadapan dengan masalah narkoba, perdagangan orang, pembunuhan, dan tindak kriminal lain yang tak bisa dianggap enteng. Amerika, China maupun negara lain yang memilih kapitalisme sebagai sistem ekonomi memang potensial menghadapi kondisi puncak, yaitu pesatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, kondisi puncak tersebut juga secara pasti akan menghantarkan pada kondisi makin tajamnya kesenjangan sosial dan menukiknya kerusakan moral. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun