Oleh: Ahmad Syaifullah
Peningkatan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi dampaknya terhadap industri dalam negeri. Beberapa pihak mempertimbangkan opsi retaliasi sebagai respons terhadap kebijakan tersebut. Namun, penting untuk menganalisis risiko yang mungkin timbul jika Indonesia memilih jalur retaliasi.
Retaliasi atau pembalasan tarif dapat memicu meningkatnya eskalasi perang dagang yang merugikan kedua belah pihak. Jika Indonesia menaikkan tarif terhadap produk AS, kemungkinan besar AS akan merespons dengan tindakan serupa atau lebih keras. Hal ini dapat memperburuk hubungan dagang dan menghambat ekspor Indonesia ke pasar AS, yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama bagi produk-produk seperti elektronik, pakaian, dan alas kaki. Sektor industri padat karya merupakan salah satu yang paling terdampak dari kebijakan ini. Industri seperti apparel dan alas kaki, yang sangat bergantung pada ekspor ke pasar Amerika Serikat, menjadi sangat rentan terhadap gejolak pasar global. Tarif tinggi menyebabkan harga produk Indonesia melonjak, yang membuatnya kehilangan daya saing di pasar AS yang kompetitif.
Ketika produk Indonesia menjadi lebih mahal akibat kebijakan tarif tersebut, perusahaan-perusahaan dalam negeri menghadapi tantangan berat. Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Amerika tanpa alternatif pasar lain menyebabkan potensi besar terhadap penurunan produksi. Jika situasi ini terus berlanjut tanpa adanya diversifikasi pasar ekspor atau perlindungan terhadap industri dalam negeri, maka perusahaan bisa terpaksa mengurangi produksi atau bahkan menutup operasional mereka. Hal ini menjadi alarm serius bagi perekonomian nasional, karena sektor industri padat karya selama ini menyerap jutaan tenaga kerja.
Efek domino dari penurunan produksi di sektor ini sangat jelas, yaitu meningkatnya angka pengangguran akan berdampak langsung pada penurunan daya beli masyarakat. Ketika konsumsi domestik menurun, maka perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi tak terelakkan. Dalam konteks ini, risiko retaliasi tarif tidak hanya menjadi masalah perdagangan internasional, tetapi juga menjadi ancaman nyata terhadap stabilitas sosial dan ekonomi dalam negeri.
Pemerintah Indonesia telah menyadari potensi risiko ini dan telah memilih pendekatan diplomasi daripada retaliasi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membalas tarif yang diberlakukan oleh AS, melainkan akan mengedepankan negosiasi untuk menjaga hubungan dagang yang baik dan stabilitas ekonomi nasional.
Adapun rekomendasi strategi yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghadapi kebijakan perdagangan Amerika Serikat yaitu dengan melakukan diversifikasi pasar ekspor. Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat dengan memperluas akses pasar ke negara-negara lain, terutama yang tergabung dalam perjanjian perdagangan bebas seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan ASEAN+6. Pemerintah bersama pelaku ekspor perlu secara aktif menjalin kerja sama dagang bilateral dan multilateral, serta memperkuat diplomasi ekonomi dengan kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Langkah ini dapat menciptakan sumber pendapatan baru dan mengurangi risiko gejolak akibat ketegangan perdagangan dengan satu negara.
Langkah lainnya yang dapat dilakukan adalah penguatan produk bernilai tambah dan industri hilir. Indonesia perlu mempercepat transformasi dari eksportir bahan mentah menjadi negara produsen barang jadi dan setengah jadi yang bernilai tinggi. Melalui hilirisasi industri, Indonesia tidak hanya meningkatkan nilai ekspor, tetapi juga memperkuat posisi tawar di pasar global. Misalnya, dari ekspor nikel mentah ke produk baterai kendaraan listrik, atau dari ekspor kakao ke produk cokelat olahan. Strategi ini juga sejalan dengan visi pemerintah dalam membangun ekonomi berkelanjutan dan memperkuat industri manufaktur nasional.
Selain itu Indonesia juga dapat melakukan optimalisasi digitalisasi ekspor dan E-Commerce global. Di tengah tren digital global, pemerintah dan pelaku usaha dapat memanfaatkan platform digital untuk menjual produk ke pasar internasional secara langsung, tanpa harus tergantung pada jalur ekspor konvensional. Marketplace global seperti Amazon, Alibaba, hingga Tokopedia Global dapat menjadi kanal strategis bagi UMKM dan industri kreatif. Pemerintah dapat mendukung dengan pelatihan digitalisasi, bantuan logistik, serta insentif bagi eksportir digital.
Strategi jangka panjang yang paling vital adalah meningkatkan kualitas dan daya saing produk Indonesia agar tetap diminati meski menghadapi hambatan tarif. Ini mencakup peningkatan efisiensi produksi, pemanfaatan teknologi industri, sertifikasi internasional, serta pemenuhan standar lingkungan dan sosial. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa subsidi riset dan inovasi, insentif fiskal untuk industri padat karya dan ekspor, serta kemudahan akses pembiayaan ekspor melalui LPEI (Indonesia Eximbank).