Langkah Ali
Bagian 1
Surat dari Kampung
Di tengah hiruk pikuk ibu kota, Ali duduk termenung di pojok ruang kos sempitnya. Di tangannya, selembar surat dari kampungnya di Kebumen masih terlipat rapi. Surat itu dikirim oleh ayahnya---Pak Hidayat, seorang guru SMP yang kini sudah pensiun, tapi masih memendam harapan besar pada anak laki-laki satu-satunya itu.
"Nak, jangan pernah lelah memperjuangkan kebenaran. Tapi ingat, kekuasaan tanpa moral hanya akan jadi kutukan."
Kalimat itu seperti menggetarkan seluruh isi kepalanya. Sudah tiga tahun Ali bekerja sebagai staf muda di DPR, di bawah komisi yang menangani hukum dan pemerintahan. Ia tak punya kursi empuk, tak punya nama besar, tapi punya satu hal yang tak dimiliki banyak orang di gedung itu, idealisme yang masih utuh.
Namun di gedung megah itu, idealisme sering kali dianggap penyakit.
"Ali, kamu ini masih polos. Di dunia politik, gak bisa semua hal dilihat hitam putih," ujar Bakhun, atasannya yang sudah dua periode duduk di parlemen. "Kalau kamu mau naik, kamu harus bisa main cantik."
Ali hanya diam. Ia tahu arti "main cantik" dalam bahasa politik Bakhun, kompromi.
Kompromi dengan kebijakan yang tidak pro-rakyat, kompromi dengan lobi-lobi proyek, kompromi dengan kepalsuan.
Malam itu, di bawah cahaya lampu kos yang redup, Ali menatap ke luar jendela. Jakarta tak pernah tidur, tapi nuraninya nyaris tak bisa istirahat.