Mohon tunggu...
Eka Yuliati
Eka Yuliati Mohon Tunggu... Pembelajar sepanjang hayat

Pendidikan: Eka adalah seorang profesional di bidang pendidikan, penulis, dan perancang modul Literasi. Eka memiliki latar belakang pendidikan yang kuat, termasuk gelar master prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Saat ini, Eka sedang menyelesaikan studi doktorat di bidang Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha. Sebelumnya, Eka mengenyam pendidikan guru di London Teacher Training College. Karier: Eka terlibat dalam berbagai kegiatan pendidikan, termasuk merancang dan melatihkan modul literasi membaca dan menulis cerita anak. Eka telah menjadi narasumber di berbagai lokakarya nasional. Publikasi: Penelitian Eka terfokus pada membaca kelas awal dan asesmen. Publikasinya tercatat di repositori Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Eka telah menerbitkan buku di bidang asesmen yang berjudul Konstruksi Instrumen, Mengonstruksi Tes dan Nontes. Selain itu, Eka telah menerbitkan puluhan buku cerita anak pada skala nasional yang dapat diakses gratis untuk pembaca yang dia cintai. Puluhan karya-karya Eka dapat ditemukan di berbagai platform antara lain literacy cloud, let's read, budi Kemdikbud dan sekolah enuma. Karyanya juga dapat ditemukan di Google Scholar. Eka pernah menjadi bagian dari Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah. Eka dikenal karena dedikasinya terhadap pengembangan pendidikan dan Literasi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Ayah Pergi: Kisah Anak-Anak Tanpa Figur Maskulin di Indonesia

10 Oktober 2025   18:36 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:28 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Shutterstock

Di sebuah desa kecil di Nusa Tenggara Timur, mata seorang anak laki-laki menatap kosong ke lapangan sekolahnya. Ia melihat teman-temannya bermain bola, tapi dirinya memilih duduk di pinggir, memeluk lutut. 

Sudah enam bulan ayahnya tak pulang dari perantauan. Gaji yang dikirim tiap bulan memang membantu sekolah dan kebutuhan keluarga, tapi ada sesuatu yang tak bisa dikirim lewat remitansi: pelukan hangat, teguran tegas, atau sekadar obrolan sore tentang cita-cita. 

Fenomena anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran aktif seorang ayah, yang kini populer disebut fatherless, sedang menjadi cerita besar di ruang sosial dan pendidikan Indonesia. Ini bukan sekadar kisah patah hati seorang anak, tapi potret ratusan ribu anak lain yang menghadapi kenyataan serupa. Mereka tumbuh bersama ibu, kakek, atau nenek yang berperan sebagai pengasuh utama. Kadang, sosok ayah hanya muncul di foto yang tertempel di lembar kalender dapur. Atau tokoh fiksi di media sosial.

Sumber gambar: Freepik
Sumber gambar: Freepik

Mengapa Ayah Menghilang?  
Di banyak wilayah rural seperti NTT, migrasi ekonomi adalah cerita yang akrab. Ayah-ayah pergi jauh ke kota besar, bahkan ke luar negeri untuk bekerja. 

Budaya di sebagian masyarakat Indonesia masih menempatkan ayah sebagai pencari nafkah utama, sementara urusan pengasuhan dan penanaman nilai moral diserahkan kepada ibu. Jika ayah tak ada di rumah, maka anak ini hampir tak punya kesempatan berinteraksi dengan figur laki-laki dewasa sehari-hari. 

Fenomena fatherless tak hanya masalah fisik, tapi juga emosi. Beberapa Ayah ada di dekat mereka secara fisik, namun berjarak secara emosi. Ayah terlalu lelah bekerja, atau mengejar dunia. Ayah tak ada tapi tak ada.

Ironisnya, minimnya guru laki-laki di lembaga PAUD membuat sekolah pun gagal menjadi tempat anak fatherless menemukan role model maskulin yang mereka butuhkan. 

Dalam forum pendidikan yang pernah saya ikuti, beberapa ayah pernah mengatakan, menjadi guru PAUD tak pernah masuk daftar pilihan karir mereka: gaji kecil, jenjang karir terbatas, dan status sosial yang dianggap rendah.  Mereka beranggapan, sebagai ayah mereka adalah provider finansial.

Saat Sekolah Tak Bisa Mengisi Kekosongan  
Sosiologi pendidikan memberi kaca pembesar untuk melihat kompleksitas masalah ini. Anak-anak tanpa ayah aktif rentan kehilangan rasa percaya diri, kesulitan mengatur emosi, bahkan mengalami masalah perilaku. 

Data dari penelitian dan laporan media menggambarkan, anak perempuan cenderung mengalami hambatan dalam membentuk konsep diri dan relasi antar gender, sedangkan anak laki-laki kehilangan acuan untuk memahami peran maskulin secara sehat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun