Di sebuah desa kecil di Nusa Tenggara Timur, mata seorang anak laki-laki menatap kosong ke lapangan sekolahnya. Ia melihat teman-temannya bermain bola, tapi dirinya memilih duduk di pinggir, memeluk lutut.Â
Sudah enam bulan ayahnya tak pulang dari perantauan. Gaji yang dikirim tiap bulan memang membantu sekolah dan kebutuhan keluarga, tapi ada sesuatu yang tak bisa dikirim lewat remitansi: pelukan hangat, teguran tegas, atau sekadar obrolan sore tentang cita-cita.Â
Fenomena anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran aktif seorang ayah, yang kini populer disebut fatherless, sedang menjadi cerita besar di ruang sosial dan pendidikan Indonesia. Ini bukan sekadar kisah patah hati seorang anak, tapi potret ratusan ribu anak lain yang menghadapi kenyataan serupa. Mereka tumbuh bersama ibu, kakek, atau nenek yang berperan sebagai pengasuh utama. Kadang, sosok ayah hanya muncul di foto yang tertempel di lembar kalender dapur. Atau tokoh fiksi di media sosial.
Mengapa Ayah Menghilang? Â
Di banyak wilayah rural seperti NTT, migrasi ekonomi adalah cerita yang akrab. Ayah-ayah pergi jauh ke kota besar, bahkan ke luar negeri untuk bekerja.Â
Budaya di sebagian masyarakat Indonesia masih menempatkan ayah sebagai pencari nafkah utama, sementara urusan pengasuhan dan penanaman nilai moral diserahkan kepada ibu. Jika ayah tak ada di rumah, maka anak ini hampir tak punya kesempatan berinteraksi dengan figur laki-laki dewasa sehari-hari.Â
Fenomena fatherless tak hanya masalah fisik, tapi juga emosi. Beberapa Ayah ada di dekat mereka secara fisik, namun berjarak secara emosi. Ayah terlalu lelah bekerja, atau mengejar dunia. Ayah tak ada tapi tak ada.
Ironisnya, minimnya guru laki-laki di lembaga PAUD membuat sekolah pun gagal menjadi tempat anak fatherless menemukan role model maskulin yang mereka butuhkan.Â
Dalam forum pendidikan yang pernah saya ikuti, beberapa ayah pernah mengatakan, menjadi guru PAUD tak pernah masuk daftar pilihan karir mereka: gaji kecil, jenjang karir terbatas, dan status sosial yang dianggap rendah. Â Mereka beranggapan, sebagai ayah mereka adalah provider finansial.
Saat Sekolah Tak Bisa Mengisi Kekosongan Â
Sosiologi pendidikan memberi kaca pembesar untuk melihat kompleksitas masalah ini. Anak-anak tanpa ayah aktif rentan kehilangan rasa percaya diri, kesulitan mengatur emosi, bahkan mengalami masalah perilaku.Â
Data dari penelitian dan laporan media menggambarkan, anak perempuan cenderung mengalami hambatan dalam membentuk konsep diri dan relasi antar gender, sedangkan anak laki-laki kehilangan acuan untuk memahami peran maskulin secara sehat. Â