Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Patrick Kluivert Gagal Bawa Indonesia ke Piala Dunia 2026, Euforia Naturalisasi Tak Berbuah

12 Oktober 2025   05:56 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:37 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain timnas Indonesia Miliano Jonathans saat laga pertama putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia melawan Arab Saudi (Instagram @timnasindonesia via Kompas.com)

Kekalahan 0-1 Timnas Indonesia dari Irak di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Minggu (12/10/2025) dini hari, menutup asa Garuda untuk menjejak putaran final Piala Dunia 2026. 

Gol tunggal Zidane Iqbal pada menit ke-75 menjadi simbol betapa rapuhnya sistem permainan Indonesia yang kini kehilangan arah di bawah kepelatihan Patrick Kluivert. 

Sebuah hasil yang tidak hanya mengecewakan secara angka, tetapi juga menggugah pertanyaan mendasar: ke mana arah manajemen sepak bola Indonesia sedang dibawa?

Ronde keempat kualifikasi Piala Dunia Zona Asia kali ini seakan membuka tabir masalah laten dalam tubuh manajemen teknis Timnas. Padahal, di atas kertas, Indonesia datang dengan skuad yang paling "mahal" sepanjang sejarahnya. Pemain-pemain naturalisasi dari Eropa, performa domestik yang sedang menanjak, dan dukungan publik yang luar biasa. Namun di lapangan, semua modal itu tidak bertransformasi menjadi efektivitas.

Kluivert, dengan segala reputasi Eropanya, justru tampak gagal membaca karakteristik khas sepak bola Asia Tenggara. Pendekatan taktik yang terlalu kaku, meniru model Belanda tanpa adaptasi terhadap kultur dan dinamika pemain lokal, menjadikan Indonesia kehilangan fleksibilitas dan spontanitas. Tim yang dulu di bawah Shin Tae-yong dikenal agresif dan cepat beradaptasi kini tampil monoton, seperti kehilangan "jiwa garuda" di setiap sentuhan bola. 

Tim hebat tidak hanya dibentuk dari pemain besar, tetapi dari pelatih yang mampu menyatukan jiwa mereka. Indonesia memiliki bakat, tapi kehilangan ruh permainan yang membedakan Garuda dari sekadar burung peniru taktik Eropa.

Salah satu kritik utama terhadap kepelatihan Kluivert adalah minimnya sentuhan taktis yang kontekstual. Dalam laga kontra Irak, Indonesia terlihat terlalu banyak menunggu bola dan tidak melakukan pressing efektif di area tengah manakala sudah menguasai pertandingan. Padahal, saat Shin Tae-yong masih memimpin, sektor ini menjadi kekuatan utama, yaitu kecepatan, transisi, dan intensitas. 

Kini semua itu menguap. Terlebih, Irak sendiri kehilangan pemain sehingga tersisa 10 orang di masa injury time pada menit 90+9, namun tidak bisa menjadi momentum kemenangan Indonesia. 

Dalam 100 menit laga melawan Irak, Indonesia sejatinya memiliki peluang emas. Beberapa kali kombinasi sayap dan belakang yang diperankan Ragnar Oratmangoen dan Tom Haye menghasilkan peluang potensial. Namun penyelesaian akhir yang buruk, serta koordinasi antara lini tengah dan depan yang timpang, menunjukkan lemahnya sistem latihan taktis yang seharusnya menjadi tanggung jawab utama pelatih kepala.

Kluivert tampak belum memahami betul psikologi pemain Indonesia dan pemain negara Asia lainnya. Dalam sepak bola modern, pelatih tidak hanya mengatur strategi, tapi juga mengelola emosi kolektif tim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun