Di tengah geliat pembangunan dan semangat digitalisasi, Indonesia kembali tercoreng oleh kabar kelam: perdagangan bayi.
Bukan sekadar isu kriminal biasa, kasus di Jawa Barat ini menunjukkan bahwa sindikat yang memperjualbelikan nyawa manusia---dalam hal ini bayi---telah menjelma menjadi praktik yang terstruktur, sistematis, dan berlangsung cukup lama tanpa terdeteksi publik.
Bayi-bayi tersebut bukan hanya dijual dengan harga belasan juta rupiah, tetapi juga telah "dipesan" sejak usia kandungan delapan hingga sembilan bulan.
Ini bukan sekadar transaksi ilegal, melainkan potret memilukan dari kemunduran moral dan lemahnya sistem perlindungan negara terhadap yang paling rentan: anak-anak.
Polisi menangkap puluhan orang dalam jaringan ini, mulai dari perekrut ibu hamil, perawat bayi, pemalsu dokumen, hingga kurir pengirim.
Mirisnya, ada dugaan keterlibatan oknum dalam instansi negara, seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang memfasilitasi dokumen palsu untuk proses pengiriman lintas daerah dan bahkan lintas negara.
Pertanyaan yang tak terelakkan: bagaimana mungkin praktik sebesar ini bisa lolos dari pantauan negara begitu lama?
Di mana peran sistem deteksi dini pemerintah daerah, rumah sakit, maupun lembaga perlindungan anak?
Kita tidak sedang membicarakan jaringan narkoba atau pencurian kendaraan.
Kita berbicara tentang perdagangan manusia---bayi yang bahkan belum sempat mengenal dunia. Mereka diperlakukan bukan sebagai manusia, tetapi sebagai komoditas.
Layaknya barang, mereka dikemas, dikirim, dan dipindahkan, seolah tak punya hak untuk hidup dengan martabat.