Mohon tunggu...
Irawan Abae
Irawan Abae Mohon Tunggu... Founder Wadah Ekonomi media riset dan kajian ekonomi

kita hanya butuh beberapa kata untuk menyusunnya menjadi kalimat, dengan segenap tinta untuk menyusunnya menjadi sebuah cerita pendek. hanya butuh kata-kata untuk menjelaskan pada semesta bahwa kita butuh pena untuk mengungkapkan rasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PENDEKATAN MODEL INTEGRATIF BLUE EKONOMY: Percepatan Pembangunan Ekonomi Kepulauan

4 Oktober 2025   17:37 Diperbarui: 4 Oktober 2025   17:37 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tulisan Blue Ekonomy (sumber: Irawan Abae)

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, namun ironi muncul ketika potensi laut yang begitu besar belum sepenuhnya menjadi motor utama pembangunan ekonomi nasional. Sumber daya kelautan, mulai dari perikanan tangkap, budidaya, pariwisata bahari, hingga energi laut, masih dikelola secara sektoral dan parsial. Akibatnya, banyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap tertinggal, padahal di sanalah seharusnya "urat nadi" ekonomi maritim berdenyut paling kuat.

Masalah mendasar pembangunan ekonomi kepulauan terletak pada fragmentasi kebijakan dan rendahnya integrasi antar sektor. Pemerintah daerah di wilayah kepulauan sering menghadapi keterbatasan infrastruktur, logistik mahal, ketergantungan fiskal tinggi, serta lemahnya inovasi berbasis sumber daya lokal. Paradigma pembangunan yang masih berorientasi daratan membuat wilayah laut dipandang sekadar ruang belakang, bukan ruang strategis pembangunan.

Padahal, dalam lanskap ekonomi modern, blue economy atau ekonomi biru telah menjadi paradigma baru untuk menjawab krisis ekologis sekaligus menciptakan pertumbuhan inklusif. Konsep ini menekankan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, efisien, dan berkeadilan sosial. Namun agar benar-benar efektif di wilayah kepulauan, pendekatan blue economy tidak bisa berdiri sendiri ia harus diintegrasikan dengan dimensi fiskal, sosial, dan ekologi yang saling memperkuat.

Di sinilah pentingnya pendekatan model integratif Blue Economic. Model ini memadukan tiga pilar utama:

1. Integrasi Ekonomi dan Ekologi
setiap kegiatan ekonomi laut harus menghitung nilai jasa ekosistem dan memastikan keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi. Contohnya, pengembangan perikanan berkelanjutan berbasis zona tangkap ramah lingkungan dan sistem sertifikasi hasil laut lestari.

2. Integrasi Fiskal dan Kelembagaan
pemerintah pusat dan daerah perlu mengarahkan instrumen fiskal, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan, insentif pajak biru (blue tax incentive), dan skema transfer fiskal ekologis (ecological fiscal transfer) untuk mendukung inovasi ekonomi laut di wilayah kepulauan.

3. Integrasi Sosial dan Teknologi
pemberdayaan masyarakat pesisir tidak cukup melalui bantuan modal, tetapi juga dengan transfer teknologi tepat guna, literasi digital maritim, dan penguatan koperasi nelayan modern yang mampu terhubung dengan rantai nilai global.

Studi Kasus Implementasi Blue Economy di Beberapa Wilayah Kepulauan:

1. Provinsi Maluku
Hilirisasi Perikanan dan Ekonomi Skala Lokal, Maluku dikenal sebagai Lumbung Ikan Nasional, namun kapasitas industrinya masih terbatas. Program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Ambon dan Tual menjadi langkah awal penerapan ekonomi biru berbasis hilirisasi. Hasil tangkapan nelayan kini sebagian diolah menjadi produk beku dan fillet yang memiliki nilai tambah. Meski demikian, keterbatasan cold storage, biaya logistik tinggi, dan rendahnya kapasitas fiskal daerah masih menjadi penghambat utama menuju model Blue Economy yang terintegrasi penuh.

2. Nusa Tenggara Timur (NTT)
Ekowisata Bahari dan Energi Laut, di NTT, pendekatan ekonomi biru mulai diterapkan melalui sektor pariwisata bahari berkelanjutan, seperti di Taman Nasional Komodo dan Pulau Alor. Masyarakat lokal dilibatkan sebagai pemandu, pengelola homestay, dan pelaku ekonomi kreatif berbasis laut. Selain itu, pemerintah daerah mulai mengembangkan potensi energi gelombang laut di Larantuka dan Sabu Raijua sebagai bagian dari transisi energi biru. Namun, tantangan utama terletak pada tata kelola dan pengawasan lingkungan agar tidak terjadi degradasi ekosistem akibat pariwisata massal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun