Lihat ke Halaman Asli

Hanzizar

Pengamatiran

Filosofi Tegas dan Lembut dalam Kepemimpinan Pramono di Jakarta

Diperbarui: 6 Mei 2025   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pramono Anung (Sumber: Mediaasuransinews)

Sebuah kota metropolitan layaknya Jakarta tak seharusnya berjalan dengan pola pikir yang mengagungkan kemudahan sesaat. Ketegasan bukanlah wujud kekejaman yang patut dihindari, melainkan fondasi kokoh bagi tumbuhnya keadilan sejati di tengah hiruk pikuk ibukota. 

Maka langkah Pemprov DKI Jakarta menolak mengadakan pemutihan pajak kendaraan tahun ini menjadi bukti nyata keberanian yang mengakar pada kebijaksanaan mendalam. Keputusan ini tidak sekadar tepat dan tegas, namun merupakan manifestasi logika pemerintahan yang berpijak pada realitas, bukan pada popularitas semata.

Data yang tersaji dengan gamblang memperlihatkan fakta yang tak terbantahkan -- mayoritas pelaku tunggakan pajak adalah mereka yang memiliki kendaraan kedua atau ketiga. Ini menegaskan bahwa kapasitas finansial mereka sebenarnya memadai untuk menunaikan kewajiban sebagai warga negara. 

Memberikan keringanan dalam konteks ini bagaikan berbisik dengan nada menggoda, "Silakan tunda pembayaran, toh nantinya akan ada pengampunan." Pola pikir semacam ini bak racun yang perlahan menggerogoti integritas sistem perpajakan dan karakter masyarakat. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, masyarakat Jakarta memerlukan edukasi kedisiplinan, bukan belas kasihan yang salah sasaran.

Persoalan ini melampaui sekadar perhitungan angka dan denda, ini tentang mentalitas kolektif yang perlu direkonstruksi. Pemilik kendaraan pribadi, terutama mobil, memiliki tanggung jawab tak terhindarkan untuk melunasi pajak beserta denda progresifnya. Kewajiban ini bukan semata-mata untuk mengisi pundi-pundi kas daerah, melainkan instrumen pendidikan moral publik agar masyarakat menghargai nilai kedisiplinan dan tanggung jawab. 

Namun, bukan berarti pemerintah dapat lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan pelayanan prima. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses pembayaran pajak kendaraan di Jakarta masih menjengkelkan dan menguras kesabaran. Antrean yang membingungkan, alur birokrasi yang berbelit-belit, serta praktik pungutan liar yang masih mengintai di berbagai sudut menjadi tantangan tersendiri. 

Solusi terbaik bukanlah pengampunan yang memanjakan ketidakdisiplinan, melainkan harmonisasi dan sinergi antara Pemprov dan Kepolisian dalam menciptakan jalur pembayaran yang transparan, efisien, dan terbebas dari jerat calo. Di era digitalisasi yang pesat ini, sudah seharusnya pelayanan publik meninggalkan pola kerja era lampau yang kaku dan rentan manipulasi.

Berbicara tentang kendaraan roda dua, narasi yang tercipta mungkin memerlukan perspektif berbeda. Pengguna motor di Jakarta mencakup spektrum luas -- mulai dari kurir ojek online yang berjibaku dengan kerasnya perjuangan ekonomi hingga pengusaha properti yang menjadikan motor sebagai alternatif transportasi di tengah kemacetan. Oleh karena itu, kebijakan pemutihan untuk motor masih layak dipertimbangkan dengan prasyarat yang ketat dan terukur. Diperlukan kriteria yang jelas dan terverifikasi, seperti berdasarkan Nomor Induk Kependudukan, tingkat penghasilan, atau status kepemilikan tempat tinggal. Bagi mereka yang enggan mengikuti prosedur verifikasi, konsekuensi logisnya adalah pembayaran penuh. Pendekatan one-size-fits-all dalam kebijakan publik hanya akan menciptakan ketimpangan baru.

Keteguhan Pramono Anung dan Rano Karno dalam mengambil keputusan tidak populis ini justru menyiratkan keseriusan mereka dalam mentransformasi Jakarta. Mereka tidak sekadar bermain-main dengan kebijakan populis jangka pendek, melainkan meletakkan batu pertama untuk perubahan sistemik jangka panjang. Harapan mereka sederhana namun fundamental -- kendaraan yang melintasi jalan ibukota harus terdata dengan baik, beroperasi secara teratur, dan taat pada kewajiban perpajakannya. 

Urgensi kebijakan ini semakin terasa mengingat kemacetan Jakarta telah mencapai stadium kritis. Kendaraan berseliweran tanpa kejelasan identitas pemilik, dengan status pajak yang terabaikan bertahun-tahun, hanya akan memperparah kondisi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline