Kedatangan Sultan Buton Ke-41, (Ir. La Ode Muhammad Sjamsul Qamar, M.T., IPU) bersama permaisuri dan rombongan, ke Desa Leworaja, Kecamatan Wulandoni-bekas ibu kota Kerajaan Labala- seharusnya menjadi peristiwa budaya yang menggugah kesadaran kolektif masyarakat. Dalam bingkai muhibah budaya, kunjungan ini membawa lebih dari sekadar simbol kehormatan adat. Ia membawa napas sejarah, membawa narasi panjang tentang hubungan antarkerajaan yang pernah membentuk wajah budaya Indonesia timur. Dalam bingkai Solor Watan Lema -"sebuah ikatan budaya dan politik yang pernah hidup di lautan"- kehadiran Sultan adalah tanda bahwa sejarah itu belum mati, bahwa ia masih mungkin dibaca ulang dan dirajut kembali.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sultan hadir, tapi rakyat absen. Tak ada arak-arakan budaya, tak terdengar denting gong penyambut tamu agung. Hanya beberapa orang yang datang, itupun dari kalangan tertentu yang secara genealogis dianggap mewarisi kedekatan dengan struktur kerajaan. Tidak tampak keterlibatan lintas suku, tidak hadir desa-desa yang dulu berada di bawah naungan Kerajaan Labala. Tidak ada ajakan terbuka, tidak ada pengumuman di masjid atau balai desa, bahkan sebagian warga tak tahu bahwa hari itu tanah mereka dikunjungi seorang Sultan.
Kontras ini terasa semakin mencolok ketika kita menoleh ke sambutan masyarakat Kedang di Desa Loyobohor, Leunadang. Di sana, Sultan disambut hangat oleh semua kalangan. Pemerintah desa mengambil peran sebagai penggerak, bukan penonton. Warga lintas generasi diajak terlibat, prosesi adat digelar, dan sejarah disambut dengan kebanggaan. Peristiwa itu hidup dalam kesadaran kolektif sebagai momen milik bersama, bukan seremoni sempit yang dimiliki oleh satu kelompok saja.
Apa yang terjadi di Labala menyisakan tanda tanya besar. Mengapa di pusat sejarah itu sendiri, kesadaran kolektif justru runtuh? Mengapa rakyat diam di tengah momen yang seharusnya membangkitkan memori bersama? Jawabannya tidak sederhana, tetapi dapat ditelusuri dari lemahnya kepemimpinan kultural di tingkat desa. Tidak tampak adanya upaya menyusun mekanisme partisipatif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Tidak ada ruang dialog antar suku, tidak ada forum terbuka yang mengajak masyarakat membicarakan sejarah mereka sendiri.
Yang lebih menyedihkan adalah eksklusivitas yang terbangun. Ketika hanya satu-dua kelompok diberikan ruang tampil, sementara kelompok lain diposisikan sebagai penonton, maka sejarah kehilangan ruhnya sebagai warisan kolektif. Ini bukan penolakan rakyat, ini adalah alienasi-"ketika masyarakat merasa tidak punya tempat dalam panggung sejarah mereka sendiri."
Padahal momen seperti ini adalah kesempatan langka. Ia bisa menjadi jembatan untuk menghidupkan kembali nama Labala dalam percakapan sejarah nasional, membangun jejaring budaya antardesa eks-Kerajaan Labala, dan mengangkat kesadaran lintas generasi bahwa mereka berasal dari tanah yang pernah berdiri sebagai pusat peradaban lokal yang tangguh.
Namun, seperti sering terjadi dalam sejarah masyarakat adat, narasi besar kembali gagal menjangkau rakyat. Alih-alih menjadi panggung untuk seluruh masyarakat, peristiwa ini justru membuktikan bahwa kesadaran sejarah kita sedang rapuh-bahkan nyaris padam. Kita terlalu lama membiarkan sejarah dipelihara dalam ruang-ruang sempit yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Kita lupa bahwa sejarah hanya hidup jika ia dihidupi bersama. Kunjungan Sultan Buton Ke-41 di Leworaja, tanah bekas Kerajaan Labala, disambut sepi. Sebuah momen besar yang kehilangan gema. (Sumber: Penulis, 2025)
Oleh karena itu, Momentum kedatangan Sultan Buton hari ini seharusnya menjadi batu loncatan, bukan sekadar kunjungan biasa. Momen seperti ini seharusnya menjadi titik balik untuk mengangkat kembali komunitas-komunitas budaya yang terpinggirkan dari historiografi Indonesia. Dalam sejarah nasional yang sentralistik, nama-nama seperti Labala nyaris tak disebut. Namun mereka hidup, mereka punya jejak diplomasi, hukum adat, jaringan maritim, dan identitas budaya yang jelas. Tapi jika kita sendiri tidak menyambut sejarah itu, maka tak ada yang akan mengangkatnya ke permukaan.
Meski begitu, dalam semua ini, tidak boleh dilupakan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Sultan Buton Ke-41. Beliau datang dengan niat luhur dan semangat kultural yang luar biasa. Beliau tidak hanya menjejakkan kaki di tanah Labala, tapi juga membuka kembali lembar sejarah yang hampir terlupakan. Sayangnya, kita sebagai tuan rumah tidak cukup siap. Kita gagal membuka rumah yang luas dan layak untuk menyambut tamu agung yang membawa kehormatan.
Tulisan ini bukan sekadar kritik terhadap panitia atau pemerintah desa setempat. Ini adalah panggilan untuk kita semua. Bahwa sudah saatnya sejarah Labala dibaca kembali, ditulis ulang, dan diperjuangkan bukan hanya oleh keturunan kerajaan, tetapi oleh seluruh masyarakat yang hidup di atas tanah itu-apa pun sukunya, di mana pun mereka tinggal hari ini.
Jika kita tidak segera mengambil peran dalam menyambut sejarah kita sendiri, jangan heran jika satu per satu identitas kita akan menghilang, ditelan arus modernitas yang tak peduli pada ingatan. Jangan tunggu tamu agung datang dua kali untuk menyadari bahwa kita tidak lagi memiliki ruang sambutannya.