Podange: Bangkit dari Keterbatasan*
Tema : Peran operator dalam memajukan pendidikan dan perekonomian di daerah pinggiran kota dan pedalaman (Kategori Umum)
Oleh : Bambang Subianto
‘Inna ma’al ‘usyri yusra : sesungguhnya bersama satu kesulitan ada banyak kemudahan”. Potongan ayat Al Quran tersebut sesuai untuk mengilustrasikan kesulitan yang dialami warga di lereng gunung Wilis, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kerasnya alam pegunungan, kesulitan air, akses jalan dan komunikasi yang sulit, dan mata pencaharian sebagai petani di lahan kering yang kurang menjanjikan terkadang menumbuhkan rasa frustasi warga di sana. Namun, keberadaan mangga podang yang menjadi khas lereng gunung Wilis cukup menghibur hati warga. Ada setitik harapan untuk keluar dari kesulitan tersebut. Bisa jadi kemudahan inilah yang Tuhan anugerahkan untuk warga di sana. Bagaimana tidak, buah ini bisa tumbuh di pekarangan tanpa perawatan yang intensif.
Mangga podang memang memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan buah mangga jenis lain baik dari segi rasa ataupun warnanya. Warna kulitnya kuning dengan sedikit bintik merah didekat pangkal dahannya, membawa daya tarik tersendiri bila dipandang. Aromanya khas mengundang selera segar apabila didekati. Rasanya manis walau tanpa gula. Benar – benar memenuhi syarat buah unggulan yang layak untuk dijadikan oleh-oleh khas Kediri.
Gambar 1 Sekeranjang mangga podang yang siap dijual di pasar buah Banyakan
Sentra penghasil mangga podang di Kabupaten Kediri terdapat di lima kecamatan yang melingkari gunung Wilis yaitu Kecamatan Banyakan, Tarokan, Grogol, Mojo, dan Semen. Jumlah mangga Podang terbesar berada di Kecamatan Banyakan dan Tarokan dengan jumlah kurang lebih 15 ribu pohon. Rata-rata hasil panen perpohon 20-40 kg maka potensi total panen mangga podang bisa mencapai 600 ton permusim.
Musim panen mangga podang tiap tahunnya terjadi sekitar bulan Oktober - Desember. Dengan adanya panen serempak maka terjadi produksi yang melimpah sehingga harga mangga di tahun 2009/2010 sekitar Rp. 500,- sampai dengan Rp. 1000,-/kg. Harga yang rendah tersebut membuat petani enggan memanen karena biaya panen lebih tinggi dari pada harga jualnya. Seringkali petani menjual dengan sistem ijon ke tengkulak dengan harga taksiran di pohon.
Namun, kondisi di tahun 2011 ini berbeda dengan tahun kemarin. Harga masih bisa menembus Rp. 2.000 – Rp. 3.000 perkilogramnya di tingkat pedagang dan Rp. 5.000 – Rp. 10.000 di tingkat konsumen. Hal ini terjadi karena masa panen yang lebih panjang sehingga tidak terjadi stok yang berlebihan.
Sebagai gambaran, di musim hujan tahun kemarin masa panen hanya tiga bulan, sedangkan di musim kemarau tahun ini, masa panen bisa sampai lima bulan. Mangga masak mulai bisa dirasakan di pertengahan bulan Puasa atau sekitar minggu kedua Agustus 2011 dan diperkirakan sampai dengan pertengahan Januari 2012 mangga podang masih bisa dipanen. Hal ini terjadi karena kemarau membuat mangga bisa tumbuh dengan optimal. Tidak banyak yang busuk seperti saat musim penghujan.
Potensi mangga podang yang berlimpah ini memerlukan pemikiran yang kreatif untuk memberikan nilai tambah baik itu nilai tambah ekonomi maupun sosial. Nilai tambah ekonomi dapat diwujudkan melalui olahan mangga podang menjadi produk yang tahan lama sehingga persebarannya bisa lebih luas dan tentunya juga memiliki nilai jual yang lebih tingi. Sedangkan nilai tambah sosial adalah dampak dari nilai tambah ekonomi, misalnya munculnya industri rumah tangga olahan mangga podang, bisa membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga sekitar yang rata-rata mengandalkan hidup dari pertanian di lahan kering sehingga muncul alternatif ekonomi baru yang bisa mendukung perekonomian desa.