Mohon tunggu...
Intan Nauli ZM
Intan Nauli ZM Mohon Tunggu... Mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Kendaraan Bermotor : Antara Kewajiban Warga dan Tanggung Jawab Negara

15 Oktober 2025   22:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   22:00 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap tahun, jutaan masyarakat Indonesia berbondong-bondong mendatangi kantor Samsat untuk satu tujuan: membayar pajak kendaraan bermotor (PKB). Di kertasnya, terlihat seperti kewajiban rutin. Namun di balik lembar STNK dan nomor plat kendaraan, tersimpan hubungan timbal balik antara warga negara dan pemerintah  antara yang membayar dan yang seharusnya memberi manfaat.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, PKB merupakan pajak provinsi yang dikenakan atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Hasilnya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang penting bagi pembiayaan pembangunan daerah. Artinya, setiap rupiah yang dibayarkan masyarakat seharusnya kembali dalam bentuk jalan yang layak, penerangan yang baik, dan pelayanan publik yang merata.

Namun, di banyak daerah, masyarakat sering kali bertanya-tanya: ke mana sebenarnya uang pajak itu pergi? Jalan berlubang masih di mana-mana, trotoar tak terurus, dan fasilitas publik jauh dari kata memadai. Di sinilah muncul paradoks: masyarakat taat membayar pajak, tetapi tak selalu merasakan kehadiran negara dalam kesehariannya.


Antara Kewajiban dan Ketidakpercayaan

Pajak kendaraan adalah bentuk nyata kontribusi warga terhadap pembangunan. Tapi kepatuhan tidak tumbuh hanya dari kewajiban, melainkan dari kepercayaan. Ketika masyarakat melihat uang pajak dikelola dengan transparan, mereka akan membayar dengan rela. Sebaliknya, ketika hasil pajak tidak tampak dalam bentuk pelayanan publik, keengganan pun muncul.

Fenomena pemutihan pajak kendaraan yang rutin dilakukan pemerintah daerah menunjukkan dilema itu. Di satu sisi, program ini meringankan masyarakat yang tertunggak, terutama di masa sulit pasca pandemi. Tapi di sisi lain, kebijakan ini bisa menurunkan disiplin fiskal. Banyak orang menunda bayar pajak dengan alasan: "Nanti juga dihapus dendanya."

Padahal, pajak seharusnya mencerminkan kesadaran kolektif, bukan sekadar momentum insentif. Bila terlalu sering ada pemutihan, semangat kepatuhan bisa tergantikan oleh mental menunggu amnesti.

Perlu Pajak yang Adil dan Rasional

Satu hal lain yang kerap disorot adalah struktur tarif PKB yang belum mencerminkan keadilan ekonomi. Pemilik motor tua dengan nilai jual rendah sering membayar beban pajak yang terasa berat secara proporsional dibandingkan pemilik mobil mewah.

Memang benar bahwa beberapa daerah telah menerapkan pajak progresif bagi kepemilikan kendaraan lebih dari satu. Tapi implementasinya belum sepenuhnya efektif. Masih banyak celah administrasi, misalnya kendaraan atas nama anggota keluarga berbeda untuk menghindari tarif lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun