Lihat ke Halaman Asli

Ancaman Hukuman Koruptor Kian Transparan, Mengapa Korupsi Merajalela?

Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kabar baik datang dari ranah hukum Indonesia: hukuman penjara rata-rata bagi para koruptor diklaim semakin tinggi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata vonis hukuman badan bagi pelaku korupsi dalam sembilan bulan terakhir mencapai 3 tahun 7 bulan penjara. Angka ini sekilas menunjukkan adanya peningkatan transparansi dan ketegasan dari pihak pengadilan.

Namun, di balik kenaikan angka hukuman penjara tersebut, terdapat data yang jauh lebih mengkhawatirkan. Nilai kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus korupsi juga melonjak drastis, mencapai angka fantastis Rp 279,9 triliun. Kerugian ini hampir sembilan kali lipat dibandingkan periode sebelumnya.

Lonjakan kerugian negara ini didominasi oleh kasus-kasus korupsi besar di sektor politik dan pengadaan barang/jasa dalam belanja negara. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: Jika ancaman hukuman penjara semakin transparan dan kian lama, mengapa korupsi justru kian marak dan kerugian negara terus membesar?

Efek Jera yang Belum Timbul

Rata-rata vonis 3 tahun 7 bulan penjara masih dianggap terlalu ringan jika dibandingkan dengan dampak kerugian ratusan triliun yang ditimbulkan. Bagi sebagian pelaku, hukuman penjara singkat barangkali hanya dianggap sebagai risiko pekerjaan. ICW menyimpulkan bahwa hukuman penjara tak lagi menakutkan bagi para pejabat dan pihak swasta yang menilap uang publik.

Selain ringannya hukuman, faktor yang memperparah masalah ini adalah celah hukum di lembaga peradilan. ICW mencatat fakta yang sangat mencengangkan: antara tahun 2015 hingga 2023, sebanyak 682 pelaku korupsi divonis bebas atau lepas dari jerat hukum. Vonis bebas yang mencapai ratusan ini mengirimkan sinyal bahaya. Sistem hukum masih memiliki lubang besar yang membuat korupsi menjadi "perilaku yang normal" karena risiko untuk lolos dari hukuman masih tinggi.

Fokus pada Pemiskinan Koruptor

Permasalahan lain terletak pada fokus penegakan hukum. Saat ini, aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, lebih sering berfokus pada hukuman badan dan kurang agresif dalam penyitaan aset dan penerapan hukuman denda yang maksimal.

Selama aset hasil korupsi masih bisa dinikmati setelah seorang narapidana keluar dari penjara, efek jeranya akan tetap rendah. Oleh karena itu, langkah yang paling mendesak adalah memastikan adanya pemiskinan koruptor melalui penerapan asset recovery (pemulihan aset) yang kuat dan tanpa kompromi.

Peningkatan transparansi hukuman penjara memang patut diapresiasi, tetapi upaya ini tidak akan maksimal selama pintu keluar (vonis bebas) masih terbuka lebar dan selama korupsi masih dilihat sebagai jalan pintas untuk menjadi kaya. Indonesia membutuhkan penegakan hukum yang tidak hanya "keras" di atas kertas, tetapi juga tegas dan konsisten dalam memiskinkan pelaku kejahatan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline