Dalam perjalanan hidup, ada empat takdir yang pasti akan dialami oleh setiap manusia: mendapat nikmat, mendapat cobaan, melakukan kesalahan, dan mengalami musibah. Keempatnya adalah bagian dari rencana Allah untuk menguji, menyadarkan, dan mendewasakan jiwa.
Yang membedakan kualitas seseorang bukanlah takdir yang dialami, melainkan bagaimana ia merespons setiap ketentuan Allah itu. Bagi orang beriman, semua takdir---suka maupun duka---bisa menjadi kebaikan, asalkan disikapi dengan tepat sesuai petunjukNya. Itulah keseimbangan seorang mukmin: bersyukur ketika mendapat nikmat, bersabar ketika diberi cobaan, bertobat ketika berbuat salah, dan mengembalikan segalanya kepada Allah (istirja') ketika mendapat musibah.
Aku pernah salah paham terhadap Allah. Dulu, aku mengira bahwa doa-doa penjagaan dan keselamatan yang aku lantunkan setiap pagi dan sore adalah jaminan agar aku tidak tertimpa musibah sama sekali. Aku menafsirkan perlindungan Allah sebagai "bebas dari derita". Betapa sempitnya cara pandangku waktu itu.
Kini aku sadar, musibah bukan identik dengan murka. Bagi Allah, musibah bisa jadi rahmat dan karunia, pintu kasih sayang untuk menyadarkan, menghapus dosa, dan mengangkat derajat seorang hamba. Dan aku belajar itu melalui sebuah peristiwa nyata yang takkan pernah aku lupakan.
Jatuh di Jalan Puncak
Suatu hari aku bersepeda di kawasan Puncak, Jawa Barat. Saat mengakhiri etape awal, aku melintasi jalan kampung yang menurun, aspal agak licin, refleks tanganku menarik rem depan ketika tiba-tiba melihat polisi tidur. Aku terlempar dan terjatuh keras. Tubuhku membentur aspal, terutama sisi kanan wajahku.
Namun anehnya, aku tidak pingsan. Aku masih bisa bicara, tertawa, bahkan membasuh luka sambil bercanda dengan teman-teman yang panik. Tapi sesuatu terjadi pada diriku: aku kehilangan memori selama 24 jam. Aku tahu siapa aku, tapi tidak tahu bagaimana aku bisa di situ. Bibirku robek dan dijahit tiga jahitan di Rumah Sakit kecil di Cisalak, sambil tersenyum. Wajah kanan penuh goresan kerikil, tangan dan dada tergores, tetapi tidak ada rasa sakit sedikit pun. Aku bahkan berulang-ulang shalat, karena selalu lupa sudah melakukannya.
Keesokan harinya, di jam yang sama seperti waktu aku jatuh, aku seperti bangun dari tidur panjang. Saat memandang bayangan wajah di kaca---bibir berjahit, dua gigi seri patah, dan luka-luka di sisi kanan wajah---barulah aku benar-benar sadar bahwa aku baru saja mengalami musibah besar.
Aku Berprasangka Buruk kepada Allah
Beberapa hari kemudian, ingatanku berangsur pulih. Tapi bersamaan dengan itu, muncul rasa kecewa dan protesku kepada Allah.