Lihat ke Halaman Asli

dilla rahma

Kompasianer

Teliti Kearifan Lokal Mberot, Mahasiswa PGSD FKIP UMM Siapkan Bekal Moral Generasi Alpha

Diperbarui: 23 September 2025   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Remaja di Malang dalam pertunjukan Mberot (Doc. Pribadi)

Malang-Fenomena kesenian mberot di Malang Raya tengah mencuri perhatian. Popularitasnya semakin meluas dengan tercatat sekitar 1.336 kelompok bantengan yang menaungi kesenian ini: 980 kelompok di Kabupaten Malang, 243 di Kota Malang, dan 85 di Kota Batu. Tidak hanya orang dewasa, kesenian rakyat tersebut juga digandrungi anak-anak sekolah dasar, kelompok yang dikenal sebagai generasi alpha.

Namun, di balik ramainya panggung mberot, tak jarang muncul stigma negatif. Beberapa pertunjukan bahkan berakhir ricuh hingga memunculkan bentrok antarkelompok, lengkap dengan penggunaan senjata tajam. Situasi ini diperburuk oleh praktik konsumsi minuman keras dan keributan di sekitar acara. Kondisi demikian menimbulkan kekhawatiran karena anak-anak yang terlibat berada pada fase perkembangan psikososial yang rawan meniru perilaku buruk di sekelilingnya.

Berangkat dari kegelisahan tersebut, sekelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan riset melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH). Penelitian ini diketuai Meilisa Tri Adinda Putri bersama anggota Febila Serlina Efendi, Fitriya Maharani, Ana Maulida Azura, dan Wiga Septiyan Vindiani. Mereka mengangkat tema "Gayenge Malang: Kajian Pambudi Luhur Budaya Mberot Menggunakan Metode Gioia untuk Mitigasi Pergeseran Karakter Generasi Alpha di Wilayah Malang."

"Selama ini mberot sering dipandang negatif, padahal di dalamnya terkandung nilai luhur yang bisa membentuk karakter anak," ujar Meilisa saat ditemui di kampus UMM. Ia menekankan pentingnya penelitian yang mampu menyoroti sisi edukatif mberot, sekaligus mengangkatnya sebagai sarana pelestarian budaya lokal.

Dalam risetnya, tim menggunakan metode Gioia, teknik analisis kualitatif yang memungkinkan data digali secara mendalam. Observasi dilakukan di beberapa titik, seperti Desa Tajinan dan Kecamatan Turen di Kabupaten Malang, serta di Kota Malang dan Kota Batu. Para peneliti mewawancarai pelaku mberot usia sekolah dasar, pemilik sanggar, guru, kepala sekolah, hingga penonton. Dokumentasi lapangan turut dikumpulkan untuk memperkaya analisis.

Seorang pemilik sanggar menegaskan bahwa mberot bukan sekadar tontonan, tetapi wadah mengenalkan budaya bangsa pada generasi muda. "Dengan melibatkan anak-anak, kita berharap mereka mengenal dan mencintai budaya sendiri. Jangan sampai budaya kita diakui pihak lain," katanya.

Pandangan itu sejalan dengan kesaksian pemain dan penonton mberot. Mereka menilai kesenian ini mendorong anak lebih gemar bersosialisasi, terhindar dari kecanduan gawai, sekaligus melatih keterampilan motorik. "Latihannya seru, banyak teman," ungkap Reval, siswa SD yang tergabung dalam kelompok mberot di Kota Malang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pambudi luhur dalam mberot meliputi aspek moral-etika, kearifan lokal, serta religius-spiritual. Dari ketiganya, nilai moral dan kearifan lokal tampak paling menonjol. Temuan ini menegaskan bahwa mberot bukan semata atraksi fisik, melainkan ruang internalisasi nilai yang relevan bagi anak-anak.

Dr. Dyah Worowirastri Ekowati, dosen pembimbing penelitian, menekankan pentingnya reposisi makna mberot. "Jika kita terus menyoroti perilaku negatif saat pertunjukan, kesenian ini akan selamanya dicap buruk. Padahal, mberot menyimpan filosofi pambudi luhur yang bisa menjadi sarana pendidikan karakter. Di sinilah mahasiswa perlu hadir untuk mengembalikan esensi budaya ini sebagai sarana pendidikan karakter," tuturnya.

Tim berharap hasil penelitian ini dapat melahirkan strategi mitigasi untuk menekan potensi penyimpangan nilai. Salah satunya dengan menyusun panduan berbasis nilai pambudi luhur yang bisa diterapkan di sanggar maupun sekolah dasar. Dengan cara itu, mberot dapat berfungsi sebagai wahana pembelajaran moral, sosial, dan spiritual, bukan sekadar tontonan yang rawan disalahgunakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline