Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

TERVERIFIKASI

Akuntan yang Penulis

Ada yang Hilang dari Salak yang Tidak Lagi Sepet

Diperbarui: 30 Juli 2025   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi memilih salak di pasar. (Sumber: SHUTTERSTOCK/Wiwijayanti via kompas.com)

Mengapa rasa buah terasa semakin sama? Mengapa tak lagi ada kejutan di lidah? Mungkin karena kita telah mengedit dunia agar sesuai keinginan, bukan kebijaksanaan. Kita ingin manis yang terus menerus, padahal kehidupan justru tumbuh dari keseimbangan antara pahit, asam, dan getir.

KITA tak pernah sungguh siap menghadapi alam apa adanya. 

Bahkan dalam hal sesederhana rasa buah, manusia cenderung menolak yang asli, dan mendambakan yang nyaman. Jeruk yang masam, salak yang sepet---dua anak kandung tanah tropis---perlahan disulap menjadi manis, lembut, dan patuh pada selera. 

Maka manusia bersorak: tak ada lagi jerit lidah yang mengernyit. Tapi mungkin ada yang turut lenyap dalam euforia itu: pelajaran dari getir.

Pada satu musim, saya mencicip jeruk varietas lokal dari pegunungan Tanggamus, Lampung. Asamnya menyentak, menyisakan jejak getir di ujung lidah. Lalu saya bandingkan dengan jeruk "baby" impor dari California: manis, polos, dan nyaris tak memberi kejutan. Yang satu seperti puisi Chairil "tajam dan melawan". Yang satu seperti iklan pasta gigi "ramah dan mudah ditelan".

"Apa yang menyembuhkan sering kali pahit," tulis Hippocrates. Tapi kita hidup di zaman ketika pahit dianggap cacat. Maka datanglah para pemulia tanaman, atau sebut saja desainer genetik, para ahli genetika molekuler, menyilangkan gen rasa, menyunting kodrat buah, agar manusia tak lagi mengernyit. Rasa asam diturunkan; kandungan fruktosa dinaikkan. 

Dalam jeruk varietas baru seperti Citrus sinensis, kandungan sukrosa bisa mencapai 9--12%, lebih tinggi dari varietas lokal yang hanya 6--7%. Salak pondoh, yang kini mendominasi pasaran, memiliki kadar tanin yang lebih rendah daripada salak Bali atau salak sidempuan. 

Di balik rasa manis itu, sesuatu perlahan hilang: zat yang dulu disebut orang tua kita sebagai "penetral perut".

Ilmu pengetahuan datang membawa obor perubahan, tapi kadang lupa bahwa nyala yang menerangi bukan satu-satunya kebutuhan. 

Dalam satu studi yang dilakukan di University of Illinois (2020), ditemukan bahwa proses desain genetik rasa buah untuk menghilangkan senyawa pahit seperti flavonoid dan tanin bisa menurunkan kandungan antioksidan hingga 30--50%. 

Padahal, flavonoid itulah yang melindungi tubuh dari peradangan, penuaan dini, dan bahkan kanker.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline