Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ada yang Hilang dari Salak yang Tidak Lagi Sepet

29 Juli 2025   14:34 Diperbarui: 30 Juli 2025   13:13 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memilih salak di pasar. (Sumber: SHUTTERSTOCK/Wiwijayanti via kompas.com)

Mengapa rasa buah terasa semakin sama? Mengapa tak lagi ada kejutan di lidah? Mungkin karena kita telah mengedit dunia agar sesuai keinginan, bukan kebijaksanaan. Kita ingin manis yang terus menerus, padahal kehidupan justru tumbuh dari keseimbangan antara pahit, asam, dan getir.

KITA tak pernah sungguh siap menghadapi alam apa adanya. 

Bahkan dalam hal sesederhana rasa buah, manusia cenderung menolak yang asli, dan mendambakan yang nyaman. Jeruk yang masam, salak yang sepet---dua anak kandung tanah tropis---perlahan disulap menjadi manis, lembut, dan patuh pada selera. 

Maka manusia bersorak: tak ada lagi jerit lidah yang mengernyit. Tapi mungkin ada yang turut lenyap dalam euforia itu: pelajaran dari getir.

Pada satu musim, saya mencicip jeruk varietas lokal dari pegunungan Tanggamus, Lampung. Asamnya menyentak, menyisakan jejak getir di ujung lidah. Lalu saya bandingkan dengan jeruk "baby" impor dari California: manis, polos, dan nyaris tak memberi kejutan. Yang satu seperti puisi Chairil "tajam dan melawan". Yang satu seperti iklan pasta gigi "ramah dan mudah ditelan".

"Apa yang menyembuhkan sering kali pahit," tulis Hippocrates. Tapi kita hidup di zaman ketika pahit dianggap cacat. Maka datanglah para pemulia tanaman, atau sebut saja desainer genetik, para ahli genetika molekuler, menyilangkan gen rasa, menyunting kodrat buah, agar manusia tak lagi mengernyit. Rasa asam diturunkan; kandungan fruktosa dinaikkan. 

Dalam jeruk varietas baru seperti Citrus sinensis, kandungan sukrosa bisa mencapai 9--12%, lebih tinggi dari varietas lokal yang hanya 6--7%. Salak pondoh, yang kini mendominasi pasaran, memiliki kadar tanin yang lebih rendah daripada salak Bali atau salak sidempuan. 

Di balik rasa manis itu, sesuatu perlahan hilang: zat yang dulu disebut orang tua kita sebagai "penetral perut".

Ilmu pengetahuan datang membawa obor perubahan, tapi kadang lupa bahwa nyala yang menerangi bukan satu-satunya kebutuhan. 

Dalam satu studi yang dilakukan di University of Illinois (2020), ditemukan bahwa proses desain genetik rasa buah untuk menghilangkan senyawa pahit seperti flavonoid dan tanin bisa menurunkan kandungan antioksidan hingga 30--50%. 

Padahal, flavonoid itulah yang melindungi tubuh dari peradangan, penuaan dini, dan bahkan kanker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun