Awal dari Sebuah Kebiasaan
Anda mungkin pernah mengalaminya. Sedang asyik membuka media sosial, lalu muncul sebuah unggahan yang menghebohkan. Judulnya provokatif, isinya membuat emosi naik turun. Kadang marah, kadang takut, kadang juga merasa harus segera membagikan supaya orang lain tahu. Rasanya seperti ada desakan dari dalam diri: "Kalau tidak disebarkan sekarang, orang lain bisa terlambat tahu."
Tapi di balik dorongan itu, sering kali ada jebakan. Apa yang Anda bagikan belum tentu benar, bahkan bisa saja cuma separuh kebenaran yang dipoles sebegitu rupa supaya terlihat meyakinkan. Dari situlah rantai hoaks lahir. Bukan cuma dari orang yang berniat jahat, tapi juga dari orang baik yang tidak sempat memeriksa.
Godaan untuk Menjadi yang Pertama
Ada semacam kebanggaan tersembunyi saat menjadi orang pertama yang menyebarkan kabar. Seolah-olah kita jadi sumber terpercaya di lingkaran pertemanan. Cuma masalahnya, keinginan jadi "yang tercepat" sering lebih kuat daripada kesadaran untuk jadi "yang paling tepat".
Psikologi sosial menyebut fenomena ini sebagai need for recognition. Manusia cenderung mencari pengakuan sosial. Di era digital, pengakuan itu datang dari jumlah like, komentar, dan tanda panah berputar---tombol share. Semakin cepat Anda membagikan, semakin besar peluang mendapat perhatian.
Padahal, perhatian yang didapat dengan mengorbankan kebenaran sering cuma bertahan sebentar. Setelah fakta terungkap, justru muncul rasa malu, kehilangan kepercayaan, bahkan kadang disalahkan karena ikut memperkeruh suasana.
Kebenaran Bukan Sekadar Informasi
Kalau dipikir lebih dalam, kebenaran itu bukan sekadar soal data atau informasi. Ia menyangkut tanggung jawab. Dalam pandangan Islam, menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan bisa merugikan orang lain, meski niat awalnya tidak jahat. Amanah lisan---atau dalam konteks modern: amanah jari---tetap berlaku.
Bayangkan ada kabar tentang sebuah perusahaan yang dikabarkan bangkrut. Orang-orang ramai membicarakannya, saham turun, pelanggan jadi ragu. Beberapa hari kemudian, terbukti kalau berita itu salah. Tapi dampaknya sudah telanjur terasa. Kepercayaan yang rusak tidak bisa serta-merta dipulihkan.
Itulah sebabnya niat saja tidak cukup. Ikhlas memang penting, tapi ikhlas perlu ditemani dengan kehati-hatian. Sabar untuk tidak tergesa-gesa menekan tombol share bisa jadi bentuk ibadah yang sederhana tapi sangat bermakna.
Logika di Balik Kebohongan yang Viral
Mengapa hoaks lebih cepat menyebar daripada klarifikasinya? Sosiologi komunikasi memberi jawaban: manusia cenderung lebih tertarik pada informasi yang dramatis, mengejutkan, atau menimbulkan emosi kuat.
Kalau ada berita tentang bahaya baru, orang merasa perlu segera melindungi diri. Kalau ada gosip tentang tokoh terkenal, orang merasa tidak mau ketinggalan obrolan. Padahal berita yang benar sering kali justru lebih datar, lebih biasa, tidak memancing perasaan.