Lihat ke Halaman Asli

Dhenys Fauzy

Mahasiswa program studi Hukum keluarga Islam

Bagaimana Jika Demokrasi Ada Tanpa Ilmu Pengetahuan?

Diperbarui: 4 Januari 2024   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PARODI KEPEMIMPINAN :
Bagaimana Jika Demokrasi Ada Tanpa Ilmu-pengetahuan?

Oleh: Dhenys Achmad Fauzy
Editor: Dhea Ananda Yunior

Suatu ketika, tengah berlangsung pesta demokrasi sebagai acara lima tahunan di negeri Konoha.

Terlihat betul antusiasme warga, apalagi acara dimaksud di sponsori oleh beberapa partai pendukung dan para tokoh panutan masyarakat.

Dampaknya terasa betul, salahsatunya ialah terbentuknya perkumpulan-perkumpulan rakyat di sana sini baik dari tingkat lokal maupun skala nasional guna memenangkan pasangan calon masing-masing.

Media massa mulai menghegemoni para pemilih dengan berupaya menggiring opini dalam mendulang suara bagi para pasangan calon yang telah membangun relasi bisnis bersama. Lembaga-lembaga survey yang katanya independen mulai mengolah data dalam memantapkan elektabilitas para paslon tertentu. Kemenangan tinggal selangkah lagi, blusukan dan segala tindakan populis di lakukan demi mendulang suara terbanyak.

Melalui momentum lima tahunan ini, sekalipun legitimasi rakyat tampak besar dan nyata namun sejatinya mereka rakyat tak memiliki kuasa dalam memilih. Sebab, kuasa memilih telah bertransformasi semacam pesanan suara yang di landasi transaksi meskipun di pandang tak begitu etis. Benar saja bahwa pesta demokrasi sedang berlangsung, namun disisi lain parodi kepemimpinan sedang di tampakkan di hadapan rakyat. Jelas sekali politisi lah yang berpesta, rakyat hanya mendapatkan sampah.

Lihat saja fenomena di bawah ini, inilah contoh nyata yang terjadi pada negeri ini. Yang katanya negara ini ialah negara demokrasi, demokrasi tanpa ilmu pengetahuan.

Dalam suatu pesta demokrasi, ada beberapa orang duduk di depan berhadapan langsung dengan warga, setelah di persilahkan berbicara di hadapan khalayak ramai, ia si politikus pun berdiri dan berucap sepatah dua kata bermaksud memberikan salam jitu dan dengan pidato nya yang cukup mengharukan dengan penuh semangat berapi-api, menurut sebagian penonton saat itu.

Tak ayal lagi, sebagian penonton terbius dengan kata manisnya dan tak jarang di antara para penonton memberikan apresiasi berupa tepuk tangan beramai-ramai. Entahlah, apakah apresiasi tersebut merupakan tindakan pujian dari penonton atau sekedar memberikan supporting penghargaan semata.

Bagi seseorang cendekia, saat fenomena ini terjadi di hadapannya pastilah ia mengerti dan merasa seperti sedang melihat seorang salesman yang sementara menjual jasa daripada seorang politisi. Kata katanya begitu manis, yang syarat akan gula di mulutnya. Ya, sedikit lagi para sekawanan semut akan menggerogoti mulut para politisi tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline