Pejabat yang membaca adalah pejabat yang berpikir. Dan pejabat yang berpikir adalah pejabat yang peduli. Berapa banyak pejabat negeri ini yang benar-benar menjadikan buku sebagai sahabat mereka?
Di panggung kekuasaan, yang kerap kita lihat hanyalah parade kemewahan: mobil berlapis krom, jam tangan miliaran, pesta ulang tahun anak yang menghebohkan media. Namun hampir tak pernah kita saksikan mereka memamerkan buku yang sedang dibaca atau gagasan segar yang lahir dari bacaan.
Padahal, dari buku lahir imajinasi besar, visi panjang, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Tanpa tradisi membaca, pejabat hanya mampu melahirkan kebijakan reaktif, tambal sulam, dan dangkal. Mereka sibuk merespons gejala, bukan menyelami akar masalah. Jika membuka satu buku saja terasa berat, bagaimana mungkin mereka mengelola kompleksitas bangsa selama lima tahun jabatan? Kekuasaan tanpa bacaan hanya melahirkan manuver politik, bukan solusi jangka panjang.
Bahaya lainnya: pejabat yang abai pada buku memberi teladan buruk bagi masyarakat. Literasi publik tak akan tumbuh jika pemimpinnya sendiri buta bacaan. Akibatnya, perpustakaan menjadi hiasan kosong, pustakawan terlupakan, komunitas literasi berjalan sendiri tanpa dukungan. Saat buku tidak dijadikan sumber inspirasi, pendidikan kehilangan arah dan masyarakat kehilangan panutan.
The Economist dalam artikelnya "Apakah penurunan membaca membuat politik menjadi bodoh?" memberi jawaban tegas: ya. Analisis pidato presiden Amerika, dari George Washington hingga Donald Trump, menunjukkan tren yang mencemaskan: semakin jarang membaca, semakin dangkal isi pidato, semakin miskin gagasan. Fenomena serupa kini menjangkiti pejabat kita. Pidato mereka sering hanya parade jargon, kalimat kosong yang cepat hilang ditelan angin.
Pertanyaannya: buku apa yang semestinya dibaca pejabat kita? Pertama, buku kepemimpinan, agar kepemimpinan tidak berhenti pada pencitraan. Kedua, buku komunikasi publik, supaya pidato mereka berisi gagasan, bukan sekadar bunyi. Ketiga, buku kebijakan publik, agar keputusan yang lahir bukan reaksi spontan, melainkan solusi sistematis. Bahkan filsafat dan sejarah pun penting, supaya pemimpin paham akar persoalan dan tidak mengulang kebodohan yang sama. Membaca bukan hobi intelektual belaka, melainkan tanggung jawab moral. Pejabat yang membaca akan berpikir; pejabat yang berpikir akan peduli.
Sejarah bangsa ini sebenarnya pernah dipimpin oleh pejabat yang akrab dengan buku. Bung Karno adalah orator sekaligus pembaca rakus. Dari Marx hingga Multatuli, dari buku-buku itulah lahir pidato revolusioner yang membakar semangat kemerdekaan. Bung Hatta bahkan lebih jauh: "Aku rela dipenjara, asal bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas." Ia menulis tentang ekonomi kerakyatan dan koperasi, yang hingga kini menjadi fondasi penting pembangunan.
Tan Malaka menulis Madilog, mengajarkan bangsa berpikir rasional dan ilmiah. Sutan Sjahrir menuangkan nurani politiknya dalam "Renungan dan Perjuangan", menegaskan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kehampaan. Ki Hajar Dewantara mengubah pena menjadi senjata, menuliskan gagasan pendidikan yang membebaskan dan membentuk karakter bangsa.
Para pendahulu kita ini tidak hanya memimpin dengan jabatan, melainkan dengan gagasan. Mereka membaca untuk memahami dunia, dan menulis untuk mengubahnya. Membaca dan menulis bukan pelengkap, melainkan inti dari kepemimpinan.
Sayangnya, warisan intelektual itu kini terasa makin jauh. Jarak antara pejabat dan buku kian melebar. Banyak pejabat lebih nyaman dengan ringkasan eksekutif dari staf ketimbang membuka buku penuh. Hasilnya: kebijakan publik miskin kedalaman, seperti jalan tol yang mulus di permukaan tapi rapuh di fondasi.