Lihat ke Halaman Asli

delfa ghifari

mahasiswa komunikasi

Nilai Budaya Jawa dalam Kemasan Film Gundala

Diperbarui: 15 Januari 2022   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diunduh dari laman https://yunoya.id/

Seiring dibukanya kembali bioskop di Indonesia, dunia perfilman Indonesia pada tahun 2022 sangat berkembang ke arah yang lebih baik, sutradara film sekarang banyak yang mengangkat isu sosial yang sedang beredar di masyarakat. Tetapi menurut saya, Indonesia sangat kekurangan film bergenre superhero, dimana tahun ini orang-orang lebih cenderung menunggu film-film superhero buatan luar negeri. McQuail dalam bukunya yang berjudul Sociology of Mass Communication  (1972) menyebutkan bahwa menonton film menjadi keharusan yang mutlak dalam masyarakat urban untuk relaksasi dari aktivitas pekerjaan atau biasa disebut sebagai escaping, or being diverted  from problems.

Gundala merupakan film pahlawan super lokal yang mengangkat cerita pahlawan super Indonesia tahun 1960-an, Gundala Putra Petir, yang karakternya dibuat oleh Harya Suraminata atau Hasmi. Dalam film, tokoh Gundala diperankan oleh Abimana Aryasatya. 

Ichsan Emrald Alamsyah dalam artikelnya berjudul Kemendikbud: Film Gundala Menginspirasi dan Menggugah yang dimuat di situs online Republika.co.id (2019) menyatakan pembuatan karakter Gundala dikonstruksi oleh Joko Anwar sekaligus sutradara dari film Gundala "negeri ini butuh patriot". 

Motivasi dari sutradara Joko Anwar untuk membuat film Gundala ini merupakan hasil dari imajinasi Hasmi yang dituangkan dalam cerita bergambar (1969- 1971), komik (1971-1982), Film (1981) yang kemudian dibuat kembali di tahun 2019 dengan perubahan dari kostum dan setting film Gundala.

https://www.imdb.com/

Film Gundala ini dikemas dengan menarik dengan menampilkan sejumlah unsur budaya Jawa. Contohnya sangat terlihat pada ending film ini, Ki Wilawuk yang merupakan musuh dari Gundala dibangkitkan dari dalam tembok yang bertuliskan aksara Jawa. 

Pribadi Wicaksono dalam artikelnya berjudul Kisah Bagaimana Karakter Gundala Dibuat Kemudian Jadi Film, yang dimuat dalam laman seleb.tempo.co (2019) nama Gundala sendiri diambil dari bahasa Jawa 'Gundolo' yang artinya petir. 

Adapun dalam film Gundala yang menggunakan bahasa Jawa seperti "sampun kenthen" (telah terlihat) walaupun di substitle ditulis menjadi "telah muncul", bahasa jawa kuno/klasik tersebut mungkin hampir tidak pernah digunakan lagi. 

Teguh Hidayatul Rachmad dalam artikelnya yang berjudul Membongkar Konsep "Heroisme di Film Gundala yang dimuat di Public Corner Vol. 15, No. 2 (2020) menyatakan bahwa film ini tidak hanya berkaitan dengan teori ekonomi politik media, namun ada beberapa teori lainnya untuk mengupas dan membongkar genre film heroisme yang terbilang baru di jagad raya per-film-an Indonesia. Perubahan konteks dan konten Gundala dari tahun 1960-an ke 2019 menjadi satu hal yang unik untuk dibahas karena kaitannya yang erat dengan kebudayaan Jawa. 

Hasmi menciptakaan karakter Gundala karena terinspirasi dari Ki Ageng Selo yang dapat menangkap petir. Menurut sumber Historia.id menjelaskan bahwa Ki Ageng Selo adalah orang Jawa (Kerajaan Demak waktu itu) yang mempunyai keturunan Brawijaya (Raja terakhir Majapahit). 

Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline