Lihat ke Halaman Asli

Cony Avrylia

Accounting student of Mercu Buana University - NIM 43223010040

Menafsir Angka, Memahami Manusia: Refleksi Hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam Akuntansi

Diperbarui: 13 Oktober 2025   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wilhelm Dilthey - German philosopher (Sumber: alchetron.com)

Dalam kehidupan ekonomi modern yang serba terukur, angka telah menjadi bahasa utama untuk menilai keberhasilan. Perusahaan yang mencatat laba tinggi kerap dianggap sukses, sedangkan yang rugi dinilai gagal. Paradigma ini mengakar kuat dalam sistem keuangan global dan memengaruhi cara masyarakat menilai reputasi, moralitas, bahkan keberlanjutan sebuah organisasi. Namun, sebagai mahasiswa akuntansi, saya sering merasa ada sesuatu yang hilang di balik sederet angka itu. Apakah benar angka mampu menggambarkan keseluruhan realitas kehidupan ekonomi manusia? Apakah angka-angka dalam laporan keuangan benar-benar netral, ataukah ia juga memuat nilai-nilai dan kepentingan tertentu?

Pertanyaan-pertanyaan ini mulai menemukan arah ketika saya mengenal Wilhelm Dilthey, seorang filsuf Jerman yang menolak cara pandang positivistik dalam memahami realitas sosial. Menurutnya, ilmu yang berkaitan dengan manusia tidak dapat dipahami dengan pendekatan yang sama seperti ilmu alam. Dilthey menegaskan adanya dua cara memahami dunia: erklren (menjelaskan) dan verstehen (memahami). Yang pertama cocok untuk fisika dan kimia, sedangkan yang kedua diperlukan untuk memahami manusia dengan segala nilai, emosi, dan maknanya.

Pendekatan hermeneutik yang dikembangkan Dilthey membuka ruang bagi kita untuk membaca akuntansi dari sisi yang lebih manusiawi. Laporan keuangan tidak lagi dipandang sekadar catatan objektif, tetapi juga sebagai "teks sosial" yang merefleksikan pengalaman, niat, dan moralitas manusia. Pandangan ini sejalan dengan penelitian Murdiati dan Mukalam (2023) yang menjelaskan bahwa hermeneutika Dilthey menempatkan pengalaman batin (Erlebnis), ekspresi kehidupan (Ausdruck), dan pemahaman makna (Verstehen) sebagai inti dalam memahami tindakan manusia.

Dalam konteks akuntansi, hal ini sangat relevan. Angka laba, aset, dan rasio keuangan bukanlah data netral; semuanya lahir dari keputusan manusia yang membawa nilai moral, empati, dan spiritualitas. Apollo, Hariani, dan Herliansyah (2025) dalam penelitiannya menyebut bahwa laporan keuangan di Indonesia dapat dibaca sebagai teks budaya dan historis. Setiap angka mencerminkan nilai-nilai lokal seperti kejujuran, religiusitas, serta tanggung jawab sosial. Maka dari itu, memahami akuntansi berarti juga memahami manusia di balik angka-angka tersebut.

Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa pendekatan hermeneutik Dilthey memberikan cara pandang baru terhadap profesi akuntansi. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap angka ada cerita, ada nilai, dan ada makna kemanusiaan. Akuntansi tidak hanya tentang mengukur, tetapi juga tentang menafsir. Pendekatan ini sangat penting di tengah tantangan moral, manipulasi data, dan krisis kepercayaan publik yang kerap menghantui dunia akuntansi. Dengan demikian, memahami akuntansi melalui kacamata hermeneutik Wilhelm Dilthey bukan hanya upaya filosofis, tetapi juga refleksi moral yang menegaskan bahwa angka tidak pernah sepenuhnya netral---ia selalu membawa jejak manusia di dalamnya.

Landasan Teoreis Wilhelm Dilthey

Wilhelm Dilthey dikenal sebagai tokoh yang memperluas tradisi hermeneutik menjadi metode untuk memahami ilmu manusia secara umum. Ia mengkritik pandangan positivistik yang mendominasi abad ke-19 karena menurutnya, pendekatan itu gagal menangkap makna batin dan konteks historis dalam kehidupan sosial. Dilthey menegaskan bahwa memahami manusia tidak cukup dengan penjelasan kausal, melainkan membutuhkan pemahaman mendalam atas pengalaman hidupnya.

Dalam konteks ilmu, Dilthey membedakan dua jenis pendekatan: Naturwissenschaften (ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu manusia). Ilmu alam bertujuan menjelaskan fenomena dengan mencari hubungan sebab-akibat secara objektif. Sebaliknya, ilmu manusia bertujuan memahami makna di balik tindakan dan pengalaman individu dalam konteks sosial-budaya. Dengan kata lain, jika ilmu alam bertanya "mengapa sesuatu terjadi?", maka ilmu manusia bertanya "apa makna di balik yang terjadi?".

Menurut Fendy Financy dan Fitzerald Kennedy Sitorus (2023) dalam Asian Journal of Philosophy and Religion, konsep ini menjadi dasar hermeneutika modern yang menekankan pemahaman atas makna, bukan sekadar pengamatan terhadap fakta. Realitas sosial selalu terkait dengan Erlebnis (pengalaman batin), Ausdruck (ekspresi kehidupan), dan Verstehen (pemahaman makna). Ketiga konsep ini menjelaskan bahwa manusia memahami dunia melalui simbol, bahasa, dan tindakan yang mencerminkan pengalaman hidupnya.

Pemikiran ini juga diperkuat oleh Trkan Frnc Orman (2021) dalam artikelnya Dilthey, Hermeneutics, and Human Sciences, yang menegaskan bahwa manusia tidak bisa dipahami secara universal seperti benda mati. Setiap tindakan manusia selalu mengandung makna historis dan kultural yang perlu ditafsir. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti laporan keuangan bukan hanya hasil perhitungan matematis, tetapi juga teks yang menampilkan nilai, norma, dan ideologi masyarakat tempat ia dibuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline