Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

TERVERIFIKASI

Penulis tinggal di Bojonegoro

Batik dan Obor Sewu: Nyala Identitas dari Bojonegoro

Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Busana Obor Sewu dari Bojonegoro| www.radarbojonegoro.com

Setiap tanggal 2 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Batik bukan sekadar kain bermotif, melainkan sebuah simbol jati diri, sejarah panjang peradaban, hingga diplomasi budaya yang diakui dunia. UNESCO pada 2009 menetapkan batik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda, dan sejak saat itu batik semakin bangga dipakai di berbagai kesempatan, dari acara kenegaraan hingga sekadar jalan-jalan santai.

Namun, bagaimana jika batik dipadukan dengan kearifan lokal yang khas? Di Bojonegoro, ada sebuah ekspresi budaya yang tak kalah menarik: busana Obor Sewu. Sebuah gaya berpakaian yang tidak hanya menekankan estetika, tetapi juga menghadirkan simbol kebersamaan, identitas lokal, dan semangat gotong royong.

Obor Sewu sebenarnya adalah sebuah tradisi pawai obor yang dilakukan di Bojonegoro, biasanya pada momen penting seperti perayaan Tahun Baru Islam atau acara budaya. Ribuan obor dinyalakan, dibawa oleh warga dari berbagai lapisan, berjalan beriringan menyalakan jalanan malam. Obor ini melambangkan cahaya harapan, semangat persatuan, serta keberanian menghadapi kegelapan.

Dari tradisi itu, lahirlah busana Obor Sewu yang dirancang sebagai identitas visual perayaan budaya. Bayangkan, sekumpulan orang memakai jarik, selendang, dan udeng dengan warna dasar hitam. Warna hitam di sini bukan semata-mata gelap, melainkan simbol keteguhan, wibawa, sekaligus ruang kosong tempat api---dalam hal ini semangat---bisa menyala terang.

Batik dalam bentuk jarik menjadi elemen utama dalam busana Obor Sewu. Jarik bukan sekadar kain panjang, melainkan "kanvas" yang merekam motif-motif khas Jawa, termasuk motif lokal Bojonegoro seperti Jonegoroan yang terinspirasi dari flora dan fauna sekitar, misalnya jati, tembakau, hingga padi. Menurut penelitian Budiono Herusatoto (2008) tentang simbolisme Jawa, jarik bukan hanya kain, tetapi lambang keteraturan, kesopanan, dan penghormatan.

Dalam busana Obor Sewu, jarik ini dipadukan dengan selendang yang memberi kesan dinamis. Selendang di pundak tidak hanya hiasan, tapi juga menyimpan filosofi fleksibilitas: bisa menghangatkan, menggendong, atau sekadar pelengkap gaya. Lalu udeng di kepala, penanda kejantanan sekaligus pengendalian diri. Busana ini menjadi "lengkap" karena mencakup tubuh, jiwa, dan pikiran: dari kaki (jarik), tubuh (selendang), hingga kepala (udeng).

Kenapa hitam dipilih sebagai warna dasar busana Obor Sewu? Secara psikologis, hitam adalah warna yang kuat, elegan, dan penuh misteri. Dalam tradisi Jawa, hitam juga melambangkan kesabaran, ketenangan, serta keabadian. Ketika ribuan orang berpakaian hitam berjalan bersama membawa obor, tercipta pemandangan yang kontras: gelap sekaligus terang, seragam sekaligus hidup.

Kontras inilah yang menjadikan busana Obor Sewu bukan sekadar pakaian, melainkan sebuah pernyataan. Seperti kata filsuf Roland Barthes dalam The Fashion System (1967), busana adalah bahasa; ia menyampaikan pesan sosial dan budaya. Busana Obor Sewu berbicara tentang solidaritas, tentang bagaimana warga Bojonegoro hadir bukan sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang menyala bersama.

Di era globalisasi, busana tradisi sering terancam ditelan arus mode cepat (fast fashion) yang serba instan. Namun, di situlah pentingnya Obor Sewu dan batik: mereka menawarkan sesuatu yang berbeda---cerita, makna, dan identitas. Dalam konteks Hari Batik, busana Obor Sewu bisa dibaca sebagai inovasi kultural: menggabungkan warisan nusantara (batik) dengan simbol lokal (obor, warna hitam, udeng).

Argumentasi ini sejalan dengan pandangan Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures, bahwa budaya adalah sistem makna yang diwariskan. Dengan melestarikan busana Obor Sewu, Bojonegoro bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga menuliskan makna baru yang bisa diwariskan ke generasi berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline