Lihat ke Halaman Asli

Sudut Kritis Budi

Entrepreneur dan Penulis

Rel Kereta Api Tanpa Palang: Negligensi Struktural yang Membunuh

Diperbarui: 25 Juni 2025   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Gambar dihasilkan menggunakan AI DALL·E oleh OpenAI berdasarkan prompt visual orisinal.

Satu lagi tragedi berdarah terjadi di jalur kereta api. Pada 8 April 2025, Kereta Commuter Line Jenggala tertemper truk bermuatan kayu gelondongan yang nekat menerobos perlintasan sebidang tanpa palang di antara Stasiun Indro dan Kandangan, Gresik, Jawa Timur. Benturan keras itu merenggut nyawa Abdillah Ramdan, seorang asisten masinis muda yang tengah menjalankan tugas.

Kecelakaan ini seharusnya tak perlu terjadi dan tak boleh dianggap sebagai insiden semata. Ia mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin keselamatan transportasi publik, khususnya pada titik-titik kritis: perlintasan rel kereta api tanpa pengamanan.

🛑 Negara Gagal Melindungi Rel Aktif
Bagaimana mungkin jalur rel aktif yang setiap hari dilintasi kereta dibiarkan tanpa palang, tanpa sinyal, dan tanpa penjagaan? Kita bicara soal sistem transportasi publik yang memindahkan ribuan orang per hari, namun jalur relnya dibiarkan seperti jerat maut di tengah jalan.

Menurut Pasal 25 ayat (2) dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, penyelenggara perlintasan wajib menyediakan perlengkapan keselamatan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak perlintasan sebidang, termasuk lokasi kejadian di Gresik, masih belum memenuhi standar minimal keselamatan.

Ini bukan hanya kelalaian teknis. Ini adalah bentuk kelengahan sistemik. Negara dalam hal ini pemerintah daerah, Kementerian Perhubungan, hingga aparatur pelaksana teknis telah gagal mengantisipasi bahaya laten di jalur transportasi publik.

⚖️ Sopir Truk Harus Bertanggung Jawab Penuh
Secara hukum, sopir truk bermuatan kayu yang nekat menerobos lintasan aktif jelas bersalah. Ia melanggar:

Pasal 114 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mewajibkan setiap pengendara untuk berhenti saat mendekati perlintasan kereta, melihat dan mendengar sebelum melintas, meski tanpa palang.

Pasal 310 ayat (4) UU yang sama, yang menyatakan:
"Jika kecelakaan lalu lintas mengakibatkan orang lain meninggal dunia, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000 (dua belas juta rupiah)."

Dengan kata lain, sopir truk ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga enam tahun dan denda Rp12 juta. Tidak ada alasan pembenaran bagi tindakan sembrono yang menghilangkan nyawa pekerja kereta api yang tidak bersalah.

Namun, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada sopir truk. Harus ada pertanggungjawaban dari sistem, bukan hanya individu.


⚠️ Perlintasan Sebidang: Bahaya Struktural yang Dibiarkan
Masih ada lebih dari 3.000 perlintasan sebidang tanpa izin di Indonesia, dan sebagian besar tidak memiliki palang, sinyal, atau petugas jaga. Ini adalah ancaman nyata bagi keselamatan publik, yang terus menunggu korban berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline