Selain ikan hias dan ikan konsumsi, terdapat satu istilah lain untuk ikan yang beredar di Indonesia, yaitu ikan invasif. Ikan invasif adalah spesies ikan yang diperkenalkan (secara sengaja atau tidak sengaja) ke ekosistem perairan di luar habitat aslinya dan menyebabkan gangguan ekologis, ekonomi, atau kesehatan. Namun, mayoritas masyarakat Indonesia justru mengartikan ikan invasif sebagai ikan hias. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dari puluhan daftar ikan yang telah dinyatakan invasif pada lampiran Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 19 Tahun 2020, sebagian besar telah dicap sebagai ikan hias di pasaran.
Berdasarkan Permen KP No. 19 Tahun 2020, Ikan invasif dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu ikan membahayakan dan merugikan. Ikan membahayakan yaitu ikan yang mengandung racun, memiliki sifat parasit, dan berpotensi membahayakan keselamatan jiwa manusia. Sedangkan ikan merugikan yaitu ikan yang bersifat buas atau pemangsa jenis ikan lain yang dapat mengancam penurunan populasi ikan endemik, contoh ikan merugikan adalah ikan aligator gar (Atractosteus spp.).
Poin penting dalam pelarangan peredaran ikan invasif di Indonesia yakni menjaga keselamatan nyawa manusia dan melindungi populasi spesies ikan asli Indonesia atau endemik.
Ikan invasif berukuran besar seperti ikan arapaima (Arapaima gigas; Arapaima leptosome) dan ikan aligator gar (Atractosteus spp.; Lepisosteus spp.), maupun ikan beracun seperti ikan buntal (Colomesus Psittacus; Tetraodon spp.) dan belut listrik (Electrophorus electricus), berpotensi menyerang atau membahayakan manusia apabila sampai dilepasliarkan ke perairan Indonesia.
Pada 5 Oktober 2024, seorang warga menginformasikan telah menemukan seekor ikan aligator gar di sungai Cemorokandang, Kota Malang. Apabila hal tersebut dibiarkan begitu saja, tidak mustahil sungai Cemorokandang akan kehilangan ikan endemiknya. Sebab ikan aligator gar yang mampu tumbuh hingga berukuran 3 meter tersebut akan menjadi pemuncak rantai makanan yang akan memangsa ikan endemik di sungai tersebut.
Selain itu, sejenis ikan gabus (Channa argus; Channa marulius) dan ikan red devil (Amphilophus labiatus) juga berpotensi menggeser ikan endemik di perairan Indonesia, karena sifatnya yang mudah beradaptasi akan mengganggu keseimbangan rantai makanan dan struktur ekosistem terhadap ikan endemik. Sebagai contoh, kasus membludaknya spesies ikan red devil yang tengah menghantui perairan danau Toba, Sumatera Utara.
Adanya kondisi eksisting yang menyatakan bahwa jenis ikan invasif telah beredar atau bahkan telah memasuki habitat alami perairan Indonesia, membuat pemerintah sebagai pemangku kebijakan mengalami kondisi dilema. Kondisi di lapangan mengharuskan pemerintah untuk mengatasi peredaran jenis ikan invasif, namun sebagian masyarakat justru menolak langkah pengawasan yang tengah dilakukan oleh pemerintah.
Sebagian masyarakat penggemar jenis ikan invasif menganggap spesien ikan yang disebut sebagai ikan invasif tersebut merupakan ikan hias biasa, yang tidak akan berbahaya apabila tidak dilepasliarkan. Permasalahannya, siapa yang bisa menjamin setiap orang yang memelihara jenis ikan invasif tidak melepasliarkan ikan tersebut? Belum ada. Oleh sebab itu, langkah pemerintah sebagai upaya preventif yaitu dengan mengatur regulasi terkait peredaran jenis ikan invasif tersebut.
Salah satu regulasi yang telah diatur yaitu melarang 75 spesies ikan/hewan beredar di wilayah darat dan perairan Indonesia, seperti tercantum dalam Permen KP No. 19 Tahun 2020. Hal tersebut bukan semata-mata untuk membatasi hobi masyarakat, namun sebagai upaya untuk melindungi keselamatan nyawa manusia, melindungi keberlangsungan spesies lokal, dan memastikan anak cucu kita dapat memanfaatkan spesies ikan lokal secara langsung.
Apabila disimpulkan secara sederhana, terdapat empat tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengawasi peredaran jenis ikan invasif di Indonesia. Pertama, luasnya wilayah perairan dan keterbatasan sumber daya. Mengutip situs Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, luas perairan Indonesia seluas 6,4 juta km2. Hal tersebut tidak sebanding dengan jumlah personel pengawas, kapal patroli, dan infrastruktur pengawasan, sehingga sulit menjangkau semua titik masuk dan peredaran jenis ikan invasif, termasuk jalur tidak resmi.