Duduklah di kafe. Seseorang, atau mungkin juga di antara kita, akan belajar mengaduk kenangan. Lupakan satu dua jenak keruwetan kerja, bos yang sedikit gila, cinta yang tidak ada kejelasan dari sesama rekan kerja, kota yang membuat tekanan darah melompat-lompat. Hujan, puisi, film, dan, fhuih, beberapa cicilan yang belum terbayar, atau apa pun itu.
Dan kita, atau seseorang, atau siapa pun itu, akan belajar sepi di ruangan ini. "Bisa kecilkan suara musik itu?" Seseorang, atau salah satu dari kita, mungkin akan bersuara.
Nanti ada seorang pramusaji akan bertanya, "Kami mempunyai beberapa varian kopi. Bung mau yang mana?
"Espresso. Nanti di mesin espresso jangan lupa masukkan beberapa luka, hingga didapat ekstrak "koka" -- kopi luka."
Si pramusaji terheran, tapi kemudian tersenyum. "Akan kuberi tahu kepada barista."
Sang barista juga ikut tersenyum membaca pesanan. Hm, luka penghianatan. Tapi ia tetap memilih biji-biji kopi yang memang pilihan. Disangrai dalam waktu dan suhu tertentu. Digiling dengan grinder kopi, dengan ukuran find grind. Dimasukkan dalam mesin espresso (oh, ya, mesin espresso sebelumnya sudah dipanaskan terlebih dahulu). Karena ini luka cinta sang Barista melakukannya dengan sepenuh cinta pula.
Kemudian dilakukan tamping -- pemadatan kopi --- di portafilter. Sebelumnya bersihkan portafilter dari rasa benci dan rindu. Alirkan air mendidih (suhu ideal 92 - 96 C, tergantung seberapa lebar luka). Luka-luka akan menguap. Letakkan cangkir di bawah portafilter. Lihat proses ekstraksi, ekstrak kopi mengalir ritmis. Pastikan waktu yang tepat, dikhawatirkan luka turut mengendap.
Pramusaji akan berjalan anggun dan meletakkan kopi di meja kita. Seseorang, atau mungkin satu di antara kita, tentu akan bertanya.
"Ini espresso, bukan? Kenapa seperti tercium bau anyir?"
"O, ya, itu memang espresso, takada campuran susu. Soal bau anyir mungkin itu aroma luka yang ikut terbawa. Aduk saja perlahan, nanti ia akan menguap dan akan menjadi kenangan." Pramusaji itu tersenyum.