Tapi Cukupkah untuk Membantu Rakyat Bertahan Lebih Lama?
Menarik! Dua bulan bantuan. Lebih dari Rp 24 triliun digelontorkan pemerintah dalam bentuk stimulus ekonomi, dari subsidi upah, diskon transportasi, hingga tambahan bantuan pangan. Targetnya jelas: menjaga konsumsi rumah tangga tetap bergulir, menopang pertumbuhan ekonomi agar tidak melorot di tengah ancaman global. Di media massa, headline-nya terdengar optimistis. Tapi di balik itu, muncul pertanyaan sederhana tapi krusial: apakah stimulus dua bulan benar-benar menjawab beban panjang kehidupan rakyat?
"Horeee!" mungkin jadi reaksi awal sebagian masyarakat saat mendengar kabar ini. Ada bantuan langsung tunai, ada potongan harga, ada diskon tarif. Seolah angin segar hadir di tengah harga kebutuhan yang kian melejit. Namun, kita tidak bisa berhenti di reaksi sesaat. Karena setelah rasa syukur itu, muncul kenyataan sehari-hari: biaya hidup tetap tinggi, penghasilan tidak menentu, dan kebutuhan terus berjalan.
Stimulus ini datang di waktu yang tidak salah, awal libur sekolah dan awal tahun ajaran baru, saat pengeluaran rumah tangga cenderung naik. Pemerintah menyebutnya strategi fiskal untuk menjaga daya beli, mendorong pertumbuhan 5%, dan meredam tekanan global. Tapi dalam praktiknya, bantuan seperti ini seringkali hanya terasa sejenak. Bukan soal datang atau tidak, tapi seberapa lama ia bertahan dan seberapa dalam ia menjangkau akar persoalan ekonomi rakyat.
"Kalau hanya memuncak dua bulan lalu hilang, dampaknya tak akan kuat. Pemerintah harus pikirkan kesinambungan program jika ingin hasilnya berkontribusi ke pertumbuhan tahunan."- Rimawan Pradiptyo, Dosen Fakultas Ekonomi UGM
Stimulus yang Datang, Tapi Belum Menjawab Semua
Setelah gelombang optimisme di awal pengumuman, publik menanti realisasi dari stimulus yang dijanjikan. Salah satu rencana awal yang paling disorot adalah pemberian diskon listrik 50% untuk pelanggan rumah tangga 450-1.300 VA. Namun, pada 2 Juni 2025, kebijakan ini dibatalkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut implementasi diskon ini terlalu lambat secara administrasi dan berisiko tidak tepat waktu. Sebagai gantinya, pemerintah memilih memperkuat subsidi upah (BSU).
BSU dinaikkan menjadi Rp 300 ribu/bulan dan diberikan kepada 17,3 juta pekerja dan guru honorer. Alokasi dana langsung ini dinilai lebih cepat tersalur dan lebih terasa dampaknya dibandingkan potongan tagihan listrik yang prosedurnya panjang.
Sementara itu, komponen lain dalam stimulus tetap berjalan:
- Diskon tarif tol dan transportasi selama liburan sekolah
- Bantuan beras 360 ribu ton dan saldo tambahan kartu sembako
- Diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk sektor padat karya
Pemerintah menyebut semua ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap konsumsi rumah tangga. Tapi sebagian ekonom menilai stimulus ini masih terlalu jangka pendek, dan belum menyasar akar persoalan seperti tingginya biaya hidup, minimnya lapangan kerja baru, dan pendapatan tidak tetap.
Target 5%, Tapi Hidup Rakyat Jalan di Tempat
Di atas kertas, strategi ini masuk akal: saat konsumsi turun, negara hadir lewat transfer tunai, subsidi, dan bantuan sosial. Tujuannya mendorong belanja rumah tangga agar ekonomi tetap bergerak. Tapi dalam kenyataan, efeknya tidak selalu merata. Statistik bisa naik, tapi rakyat belum tentu merasa perubahan nyata di dompet dan dapur mereka.