Memeriahkan kemerdekaan dengan lomba masih semarak di pedesaan dan perkotaan. Orang-orang menyaksikan dengan senang, berbagai macam lomba diikutsertakan. Menunjukkan hari kemerdekaan itu harus bahagia. Tidak ada hari merdeka tapi sedih. Namun, sayangnya kemerdekaan negara ini masih banyak yang sedih, cemas, dengan hari-hari yang problemnya kurang dipahami. Katanya bercita Indonesia emas, sedang masyarakat, terkhusus pemudanya, cemas!
Adanya dirgahayu setiap tahun ini tentu dilaksanakan untuk memperingati perjuangan para pahlawan yang memerdekakan bangsa ini dari penjajah yang tak berkemanusiaan, lalu berdirilah negara Indonesia. Sebuah adagium dari judul pidato Presiden Sukarno: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" atau disingkat "JASMERAH", itu mengajak semua kalangan tidak melupakan perjuangan bangsa. Sejarah adalah buku galeri yang berisi cita-cita para leluhur, berisi semangat nasionalisme-persatuan dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Karena sejarah adalah buku galeri, maka masyarakatnya harus mampu mengingat kesalahan-kesalahan yang membuat negara ini rusak.
Acara 17 Agustus menjadi tanggal revitalisasi nilai-nilai kebangsaan ini. Tidak mungkin acara ini hanya dilaksanakan yang sifatnya formalitas saja. Tentu sebagian orang akan mengambil pelajaran dan menyadarkan dirinya tentang sebuah perjuangan yang perlu diperjuangkan kembali untuk bangsa dan negara ini. Dan rasa-rasanya bila tidak diperjuangkan, manusia ini seperti hewan yang hanya memikirkan dirinya, hidup sekadar hidup, tidak bertujuan. Sangat terasa hal itu ketika berada di pedesaan. Di perkotaan juga sama, bila hak-hak anak bangsa sekolah tidak lagi bisa, atau orang tua tidak lagi membimbing kognitif dan moralnya karena sibuk bekerja atau memang juga awam, lambat laut mereka menjelma manusia primitif di tengah-tengah kemodernan. Paling banter mereka memikirkan dirinya bagaimana bisa makan, sebatas itu. Hal ini bagian dari kemunduran yang perlu dibenahi.
Seandainya para pejuang bangsa ini melihat keadaan anak mudanya, kemungkinan besar akan sedih sekali. Bagaimana tidak, perjuangan untuk pendidikan misalnya oleh Bapak Ki Hajar Dewantara yang memperjuangkan hak-hak pendidikan agar semua bisa belajar, menjadi manusia yang utuh, agar akal pikirnya, hatinya, terbuka pada kemajuan. Dan negara ini tidak akan pernah maju bila pendidikan masih semrawut dan tidak diakses semua kalangan.
Belum lagi para elit politik sibuk dengan pribadinya dan koleganya, sedangkan masyarakat hanya dijadikan kambing yang bila diberi rumput baru menghampiri tuannya (mereka diperbudak politik dan ini sebuah gambaran seseorang yang tidak merdeka jiwanya). Dan mereka yang memperjuangkan hak rakyat sering dihalang-halangi. Tanpa kekuatan pendukung, dengan mudah dijebloskan ke penjara. Memang berat perjuangan ini meskipun yang dilawan bukan penjajahan, tapi masyarakatnya sendiri. Perkataannya nyata sekali: "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri." Hal ini bisa dilihat bagaimana berita masa menayangkan elit politik saling melaporkan ke badan hukum.
Barangkali dengan acara 17 Agustus yang selalu dirayakan ini, masyarakat selalu berintrospeksi diri untuk kemajuan bangsa ini. Umur sudah 80 tahun, akankah hanya bergerak pada ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintahnya? Sekali-kali masyarakat melaju selangkah dua langkah atas efek niat baik dari pemerintahnya. Cita-cita untuk 40 tahun ke depan terlalu mulia bila dari sekarang tidak dipersiapkan sumber daya manusianya. Karena merekalah yang mengubah nasib bangsa ini. Tapi nasib itu akan buruk sekali bila bangsa ini tidak ada pendidikan yang layak.
Sekarang saja bisa dibuktikan perbedaan pemahaman orang-orang tentang kemerdekaan. Dari orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan, dengan usia yang sama atau sepantaran, ada perbedaan yang signifikan. Mereka yang tidak sekolah hanya memaknai kemerdekaan sebatas ulang tahun dari jajahan kolonial, hanya sebatas itu. Tapi bagi orang yang berpendidikan, kemerdekaan ini adalah cita-cita bangsa untuk kemajuan ke depan.
Merdeka, tapi rakyat masih menderita. Merdeka, tapi belum bebas dari pandangan sinis dan ketidakterimaan pandangan fakta seperti masyarakat belum sejahtera, anak mudanya yang lulus sarjana terlantar dalam ketidakpastian karirnya. Belum lagi fakta pendidikan di pedesaan yang fasilitasnya sangat kurang sekali. Bagaimana bangsa ini punya imajinasi, inspirasi, tentang dunia masa depan? Sejak dini saja sudah tidak tahu mau apa, karena memang dari awal tidak ada bahan yang bisa membantu dia untuk berpikir ke situ. Pendidikan di pedesaan krisis buku (buku yang membuat dia punya inspirasi).
Belum lagi orang tuanya yang juga awam tentang pendidikan. Jika sebatas memberikan uang jajan, itu cuma bentuk empati saja, tapi bukan persoalan yang utama. Karena permasalahan yang krusial adalah kurangnya bahan untuk mereka berpikir, menghayal, kreatif, dan lain sebagainya. Ini semua bentuk belum kemerdekaan yang terlihat oleh mereka yang memiliki cara pandang dari kacamata pendidikan. Dia masih merasa banyak hal yang belum beres di negeri ini.
Cara pandang tentang kemerdekaan ini sudah berbeda antara yang berpendidikan dan yang tidak. Maka pemerintah harus kembali memerhatikan apa penyakitnya. Tapi bila boleh mengatakan, penyakitnya itu kurangnya pendidikan. Solusinya pendidikan yang memadai, karena pendidikan adalah tempat membentuk cara berpikir, membentuk kepekaan sosial, membentuk semangat perjuangan kemajuan. Dan orang yang berpendidikan akan mampu memutuskan tali setan berantai yang membuat dirinya hina. Dia pun nantinya akan tulus mendidik anaknya dengan didikan yang baik, lebih baik darinya.
Merdeka itu bahagia, bukan sedih apalagi tersiksa. Ingatlah pada prinsip Pancasila: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Di sana tidak ada keadilan bagi seluruh pemimpin negeri ini. Adil berarti memberikan hak-haknya, baik pendidikan, kesejahteraan, ketenteraman, dan sebagainya. Tulisan ini untuk menyadarkan bahwa pentingnya sebuah pendidikan dalam segala hal apapun.