Collaborative governance merupakan sebuah konsep yang menunjukkan adanya sebuah bentuk hubungan kelenbagaan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat yang menanggung segala risiko dan berkomitmen untuk bekerja sama. Subarsono (2015) menjelaskan betapa pentingnya collaborative governance dalam rangka berbagi risiko, pengendalian, dan kemitraan antar aktor governansi. Berikut kasus collaboratie governance di beberapa negara:
1) Kroasia
Bentuk kolaborasi governansi dilihat dengan adanya kemitraan public dan swasta dalam mengadopsi hukum kerja sama pemerintah dan swasta. Kemitraan sebagai entitas dengan skala nasional untuk melaksanakan hukum kemitraan dengan tugas pokok sebagai berikut:
- Menyetujui proposal proyek kemitraan pemerintah dan swasta serta membuat draft akhir kontrak;
- Menerbitkan daftar proyek yang disetujui dari kemitraan dan berandil dalam perkenalan calon investor;
- Mengatur dan menjaga daftar kontrak yang telah ditandatangani;
- Mengawasi proses pelaksanaan kontrak dalam public private partnership (PPP);
- Mengadakan kerja sama internasional dengan tujuan perbaikan;
- Merancang strategi untuk aplikasi terbaik dalam pelaksanaann proyek;
- Menerbitkan instruksi pelaksanaan;
- Menginterpretasikan ahli pada pertanyaan;
- Memberikan keterangan dan rincian program pendidikan dalam kolaborasi dan menerapkan teknologi modern untuk menciptakan pusat pengetahuan nasional.
2) Malaysia
Bentuk kolaborasi di Malaysia ditunjukkan dengan adanya PPP di Malaysia melalui proses penelitian yang menilai bagaimana keberhasilan dalam kebijakan. PPP digunakan untuk proyek pembangunan infrastuktur dan palayanan agar lebih efisien dengan menopang risiko. Skema PPP di Malaysia dilakukan dengan dua format yaitu sektor swasta membangun fasilitas dan menyewakan kepada pemerintah dan sektor swasta mengidentifikasi proyek yang dianggap layak secara ekonomi dan public lalu dieksekusi. Pada 2006, Malaysia mengalokasikan dana RM 20 milliar untuk proyek transportasi, perumahan, kesehatan, dan pendidikan melalui PPP. Regulasi PPP selanjutnya dievaluasi dan tetap berfokus pada masyarakat dan melahirkan sebuah critical success factor (CSF) yang menjadi kunci dalam sebuah kegiatan. Adapun 15 faktor keberhasilan yang relevan dengan CSF yakni:
- Kemampuan dan keterampilan yang saling melengkapi antar stakeholder;
- Inovasi teknis dalam mengataasi kompleksitas proyek;
- Efisiensi proses persetujuan;
- Dampak lingkungan;
- Pengembangan kerangka ekonomi/hukum;
- Stabilitas politik;
- Pemilihan proyek yang tepat;
- Aliansi strategis;
- Pengelolaan sumber daya;
- Tingkat kepercayaan yang baik;
- Dukungan dari masyarakat;
- Studi kelayakan;
- Transfer teknologi;
- Kemampuan proyek dalam finansial;
- Struktur dalam kemitraan
Dari ke 15 faktor tersebut, ada beberapa yang berhasil dalam PPP di Malaysia yaitu tindakan terhadap pembangunan, adanya kesepakatan yang jelas dan kuat, adanya ahli pembangunan yang terkemuka, komunikasi yang konsisten, akuntabilitas yang berjalan dan negosiasi, proyek yang realistis, dan terdapat pengawasan dan evaluasi menyeluruh dari kebijakan. Secara umum faktor yang besar adalah datang dari komitmen pemerintah dan keterlibatan melalui pemberian jaminan dan politik. Good governance dalam PPP juga berjalan saling mendukung semua pihak.
3) Nigeria
Bentuk collaborative governance di Nigeria adalah dengan adanya penerapan PPP. Nigeria memerlukan banyak dana untuk standar infrastruktur yang menyebabkan pemerintah terus mengumpulan sumber daya yang ada. Oleh sebab itu, dilakukan sebuah pola kemitraan dengan pola PPP. Dalam 10 tahun, terdapat 25 proyek yang telah dijalankan dan berkontribusi terhadap N10 triliun investasi. Pengadaan PPP disebabkan karena pemerintah federal sudah mengarah ke swasta dan menjadikan pemerintah agar lebih akuntabel dan dipercayai oleh public. Pelaksanaan PPP digunakan dalam Manajemen limbah, pembangunan, pemeliharaan jalan raya, peningkatan kemampuan, dll.
4) India
India menggunakan konsep PPP yang mendorong percepatan pembangunan property public salah satunya adalah sektor kereta api disana melalui renovasi untuk pengembangan kereta api kelas dunia. Pembangunan ini dimaksudkan untuk:
- Infrastruktur dan pengembangan property stasiun kualitas tinggi;
- Pengembangan bertahap untuk memenuhi dinamika pertumbuhan;
- Konsepsi proyek dan minimum gangguan lalu lintas;
- Tepat waktu;
- Sinergi infrastruktur perkotaan;
- Kemudahan transfer transportasi;
- Pembagian pendapatan yang transparan dan efektif.
Dengan kisaran RS 8000 membangun stasiun kereta api kelas dunia diharapkan mampu meningkatkan transportasi public melalui PPP karena swasta lebih memiliki pengalaman dalam merancang, membangun, dan memelihara stasiun kelas dunia. Dalam pelaksanaan PPP, terdapat kesepakatan yang ditetapkan yakni pembangunan akan menjadi milik Indian Railways dengan semua tanah dan property kembali kepada kereta api di India.