Lihat ke Halaman Asli

Amelia

Menulis Dengan Tujuan

Obat 'Kesendirian' Itu Bernama Menulis

Diperbarui: 25 September 2025   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang wanita di tengah keramaian ( foto : by Lightpoet via Adobe Stock)

Kompasianer, pernahkah Anda merasa sendirian di tengah keramaian?

Merasa asing di antara kerumunan orang-orang dan sendirian. Hal ini kerap saya alami sejak dari usia sekolah. Sebagai pribadi yang introvert, memulai komunikasi dengan orang lain adalah hal yang tidak mudah bagi saya ketika itu.

Usia sekolah adalah masa-masa sulit untuk menemukan seorang teman. Ketika itu, saya menghindari untuk berteman dengan orang-orang yang cerewet, karena saya adalah seorang pendiam. Jadi rasanya jika berteman dengan anak yang cerewet rasanya gak cocok karena sifat yang berseberangan.

Perasaan ini berlangsung hingga saya duduk di bangku SMA. Namun, ketika kuliah saya menemukan banyak kecocokan dalam berteman. Tetap saja ada beberapa teman yang saya hindari. Teman-teman yang terlalu dominan. Jadi saya lebih selektif dalam memilih teman, bahkan tidak takut dengan ancaman ' pilah pilih teman nanti gak punya teman'.

Ancaman itu tidak berlaku bagi saya, karena toh dipaksakan berteman dengan orang yang gak cocok untuk apa? Ketika SMP dan SMA, apalagi. Katanya masa-masa sekolah adalah masa pencarian jati diri, dan, memang betul adanya. 

Masa-masa pencarian jati diri, menjauh dari kerumunan, keramaian, ditambah lagi pribadi saya yang tertutup, pendiam, melankolis, sensitif, huaaawah kumplit, deh.

Makanya gak heran saya sulit dapat teman, padahal banyak yang mau temenan sama saya, loh. Hanya saja saya ingin menjaga perasaan saya agar tidak sakit hati dan terlalu banyak mengalah karena orang lain. 

Kesendirian ini pun terus berlangsung hingga menikah. Ternyata sudah menikah pun hidup masih merasa sendiri.

Lalu kenapa hal ini terjadi  pada saya? Merasa sendirian padahal sudah punya pasangan hidup. Akhirnya saya yang terlalu serius ini berkontemplasi.

Saya merasa tidak menemukan teman bicara yang satu frekuensi dan sejiwa. Perjalanan kehidupan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, ternyata saya yang rumit ini tidak juga menemukan teman ngobrol yang satu frekuensi dan sejiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline