Lihat ke Halaman Asli

Muh Alif Fatahillah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Di Bawah Langit AdhiNara

Diperbarui: 4 Oktober 2025   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto bersama 12 AdhiNara Muda yang hebat (Sumber: Dokumentasi pribadi penulis).

Langit sore itu menggantung rendah di atas kampus UMY. Angin membawa sisa riuh dari barisan mahasiswa baru yang masih beradaptasi dengan hiruk suasana MATAF. Di antara kerumunan itu, aku dan partner fasilitatorku berdiri dua sosok yang awalnya tak saling mengenal, namun kini dipertemukan oleh satu kata yang begitu sederhana tapi bermakna: khafilah.

Kami berdua datang dari arah yang berbeda, dengan cara berpikir dan ritme yang tak sama. Namun di bawah langit Adhinara, perbedaan itu bukan alasan untuk menjauh, melainkan alasan untuk belajar saling memahami. Kami ditugaskan bukan hanya untuk memimpin, tapi untuk menemani menjadi rumah kecil bagi mereka yang baru menjejakkan langkah pertama di dunia yang lebih luas.

Awalnya semua terasa kaku dan teratur. Ada sapaan formal, senyum basa-basi, dan instruksi yang dihafal. Tapi seiring waktu berjalan, ada sesuatu yang hangat yang tumbuh di antara kami. Sebuah perasaan bahwa kami sedang membangun lebih dari sekadar tim, lebih dari sekadar kelompok. Kami sedang membangun keluarga kecil di tengah gemuruh ribuan wajah baru.

Partner fasilitatorku bukan hanya rekan tugas. Ia adalah penyeimbang yang mengajarkanku arti tenang di tengah riuh, dan sabar di tengah semangat yang bergegas. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya seperti jangkar yang menahan langkahku agar tidak terburu-buru. Kami tidak butuh banyak kata, cukup satu tatapan di tengah keramaian, dan kami tahu apa yang harus dilakukan.

Potret Bersama desika partner Fasilku. (Sumber: Dokumentasi MATAF).

Lalu, datanglah dua belas jiwa muda itu dua belas wajah yang awalnya asing, kini menetap di ruang hatiku. Mereka datang membawa cerita, kepribadian, dan warna yang tak sama, tapi justru di situlah indahnya.

Ada yang datang dengan tawa paling nyaring, menghidupkan suasana bahkan di tengah lelah. Ada pula yang selalu datang terlambat, tapi justru membuat kami belajar arti sabar. Ada yang pendiam, tapi diamnya menyimpan ketulusan dan perhatian yang halus. Ada yang berani berbicara meski suaranya gemetar, mengajarkan kami bahwa keberanian tidak selalu tentang kerasnya suara, tapi tentang kejujuran hati.

Ada satu yang tak pernah lelah membuat kami tertawa di tengah penat, dan satu lagi yang diam-diam selalu memastikan semua baik-baik saja. Ada yang rajin mencatat setiap hal kecil, seolah takut kehilangan momen, dan ada pula yang sibuk merekam segalanya dalam ingatan, bukan kamera.
Mereka berdua belas berbeda, tapi saling melengkapi. Seperti warna-warni senja yang bertemu di langit Adhinara, menciptakan harmoni yang tak mungkin diulang.

Hari-hari MATAF berjalan seperti sungai yang deras namun lembut. Kami tertawa di bawah tenda yang panas, berlari di antara jadwal yang padat, dan diam bersama ketika rasa lelah tiba. Kadang aku memandang mereka diam-diam, melihat bagaimana mereka tertawa, saling menggoda, saling menguatkan. Dalam diri mereka, aku melihat versi paling murni dari semangat muda polos, jujur, tapi penuh tekad untuk tumbuh.

Pernah satu sore, setelah kegiatan selesai, kami duduk melingkar di pelataran kampus. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan cahaya jingga yang membasuh wajah-wajah lelah itu. Mereka bercanda, bercerita tentang mimpi, tentang alasan memilih jurusan, tentang ketakutan akan dunia kuliah yang baru. Aku hanya diam mendengarkan, tapi di dalam diam itu aku merasa sedang menyaksikan sesuatu yang suci lahirnya ikatan yang tidak dibuat oleh program, tapi oleh perasaan tulus untuk saling mengenal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline